Jawa bukan sekadar nama pulau dan satu etnis di Indonesia. Jawa adalah entitas kehidupan yang memiliki ciri khas tersendiri, terutama dalam budaya, tradisi, dan adat-istiadat. Sering kali kita salah memahami definisi budaya, tradisi, dan adat-istiadat, padahal ketiganya berbeda. Budaya sangat erat kaitannya dengan budi dan akal manusia. Bagi saya, budaya adalah cara hidup yang berkembang oleh sekelompok orang.
Makna tradisi adalah kebiasaan turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang dan masih dilestarikan oleh masyarakat. Adat-istiadat, di sisi lain, adalah perbuatan yang berulang sehingga menjadi kebiasaan yang mesti dipatuhi oleh masyarakat dalam suatu lingkungan.
Budaya, sebagai output dari budi dan akal manusia, tidak bersifat statis. Budaya senantiasa berkembang. Contohnya adalah penanggalan Jawa yang merupakan hasil pemikiran Sultan Agung. Sultan Agung menciptakan penanggalan Jawa karena merasa risau melihat penanggalan Jawa berbasis tahun Saka tidak selaras dengan penanggalan Hijriyah. Penanggalan Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung, dan masih digunakan hingga kini, adalah hasil perpaduan antara penanggalan Islam, penanggalan Saka, dan sedikit penanggalan Julian (asal mula penanggalan Masehi).
Melihat dari sudut pandang budaya tersebut, harus ada perspektif objektif tentang bagaimana budaya Jawa berkembang saat ini. Secara objektif, budaya Jawa yang berkembang saat ini adalah hasil dari peradaban yang dibangun oleh Mataram Islam. Jika ditarik ke era sebelumnya, ada kesamaan frekuensi dengan Demak dan Pajang.
Banyak budaya Jawa yang berkembang pada era Demak dan seterusnya disebabkan oleh akulturasi yang sering dilakukan oleh Walisongo. Akulturasi ini memberikan simbol dan makna dalam setiap budaya Jawa. Baju Surjan, misalnya, sering disebut dengan baju takwa. Baju Surjan memiliki motif garis yang tegas sebagai pembatas. Surjan menjadi simbol kehidupan, yaitu hidup harus tegas dalam memandang kebaikan dan keburukan, tidak bisa dicampur-aduk. Sunan Kalijaga juga sering memakai blangkon, sebuah tutup kepala yang melambangkan pengendalian diri. Dahulu, orang Jawa kerap memanjangkan rambut, dan untuk merapikannya digunakan ikat kepala atau blangkon. Orang Jawa tempo dulu hanya melepas blangkon ketika berada di rumah atau saat berperang. Oleh karena itu, blangkon memiliki makna pengendalian diri.
Kontribusi Walisongo beserta para pendakwah Islam di Jawa memastikan setiap unsur budaya Jawa memiliki makna kehidupan. Bahasa Jawa Krama, misalnya, baru muncul pada era Mataram Islam. Sebelumnya, dalam bahasa Jawa kuno tidak ada tingkatan bahasa.
Mengapa dinamakan basa krama? Dalam bausastra Jawa, krama memiliki arti “tata-pranata kang bêcik” yang berarti bahasa yang baik. Berbahasa yang baik adalah perintah dari Al-Quran. Dengan demikian, menggunakan bahasa krama berarti menjalankan perintah Al-Quran, dan menjalankan perintah Al-Quran mendapat pahala. Artinya, bila orang Jawa yang beragama Islam bertutur dengan bahasa krama, ia mendapatkan pahala.
Jika ditelaah lebih lanjut, budaya, tradisi, dan adat-istiadat Jawa yang berkembang saat ini berkaitan erat dengan syariat Islam. Hal ini wajar, karena Mataram Islam yang menjadi tulang punggung peradaban Jawa menggunakan Al-Quran, Hadist, Ijma, dan Qiyas sebagai sumber hukumnya. Beberapa tradisi Jawa yang masih ada hingga saat ini juga memiliki nilai agama. Tilikan, misalnya, adalah silaturahmi dan menjenguk orang sakit, yang merupakan perintah agama. Kondangan dalam bausastra Jawa bermakna “melu kendhuren”, yang sinonim dengan selametan. Makna kondangan adalah memohon selamat dengan doa dan berbagi (sedekah). Hadist Nabi SAW menyebutkan bahwa sedekah dapat menolak hingga 70 macam bala bencana dan yang paling ringan adalah menolak penyakit sopak dan kusta.
Beberapa simbol dalam kondangan juga memiliki makna agama. Contohnya, tumpeng yang berbentuk kerucut merefleksikan hubungan manusia dengan Allah Ta’ala. Simbol ayam ingkung, yang berasal dari kata “manekung”, bermakna munajat. Bentuk ayam ingkung yang menyerupai posisi sujud juga melambangkan munajat dengan bersujud.
Membaca Jawa tidak bisa hanya dengan melihat simbol-simbol yang ada. Simbol adalah bentuk komunikasi tidak langsung yang mengandung pesan tersembunyi. Oleh karena itu, setelah membaca simbol Jawa, kita wajib mempelajari maknanya. Jika hanya berhenti pada simbol, akan terjadi kesalahan dalam memaknai “Wong Jawa aja ilang Jawane”.
“Ilang Jawane” sering kali hanya dilihat dari hilangnya simbol. Padahal, makna “Aja ilang Jawane” adalah jangan sampai orang Jawa kehilangan kepribadiannya. Kepribadian adalah cara individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian Jawa yang membedakan orang Jawa dengan yang lain adalah santun, ramah, suka mengalah, dan cenderung pemalu.
Saya merangkum kepribadian orang Jawa dengan dua ciri utama: pandai menyenangkan dan menjaga perasaan orang lain, serta pandai menyimpan perasaannya. Karena itu, output dari kepribadian Jawa dikenal dengan idiom “Karyenak tyasing sesama” (membuat nyaman di hati sesamanya). Hal inilah yang seharusnya tidak hilang. Apa kata dunia jika ada orang Jawa yang suka memakai Surjan, sering kondangan, tetapi angkuh, sering berkata kasar, mau menang sendiri, dan kerap membuat orang lain tidak nyaman? Orang Jawa seperti inilah yang merupakan substansi dari “Wong Jawa ilang Jawane”.
Rekonstruksi perspektif dan pemaknaan Jawa inilah yang menjadi diskusi saya dengan anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Sukoharjo pada Selasa, 2 Juli 2024, di seputaran Kampus UMS, tepatnya di Warmindo Benk-benk, Gonilan Kartasura. Saya sungguh bahagia melihat anak muda yang mau mempelajari budaya Jawa secara lebih komprehensif, tidak parsial, apalagi terjebak pada simbol-simbol Jawa. Jika terjebak pada simbol, akan terjadi diametral sudut pandang, seperti yang sering terjadi saat ini. Seolah ada kutub “babar blas” dan “kebablasen” dalam melihat budaya Jawa.
Saya sangat mengapresiasi ketika anggota IMM Sukoharjo mau mempelajari bahasa krama lebih intens. Saya bilang, “Dengan memakai bahasa Jawa yang benar, kalian mendapatkan pahala tersendiri.” Mereka sempat tercengang ketika saya jelaskan seperti di atas, dan rona mereka langsung berbinar. Bahkan, mereka seketika meminta pelatihan basa krama. Jelas saja, saya menolak. Saya minta mereka belajar kepada ahlinya. Lha wong saya acap salah dalam tutur basa krama. Misalnya, saya masih sering bilang “kulo kerso” padahal yang benar “kulo purun”, atau salah tutur dengan “kulo mboten pirso niku”, yang benar “kulo mboten ngertos niku”. Masih banyak lagi. Hehehe. Ndan Wiwaha Aji Santosa kerap membenarkan saya langsung bila saya salah dalam tutur basa krama.
Saya pun berpesan kepada IMM Sukoharjo, “Bila tepat membaca lagi memaknai budaya Jawa, akan menjadi alat percepatan dakwah Islamiyah lagi Muhammadiyah.” Walisongo menjadi contoh terbaik dalam menjadikan budaya sebagai media dakwah. Tidak hanya sebagai media, bahkan bisa mentransformasi budaya Jawa selaras dengan nilai-nilai agama. Hingga ada semacam trademark, Islam telah menjadi bagian dari budaya Jawa. Utang rasa.
Tabik,
Yudi Janaka