Saya terbawa ” Wong Kauman ” Jogja. Menyebut beliau dengan ” Mbah Dahlan”. Bukan KH Ahmad Dahlan. Mencoba memghidup- hidup Muhammadiyah lagi berkarib dengan beberapa cicit beliau. Setidaknya ada alasan moral untuk memanggil beliau dengan ” Mbah ” bukan ” Kyai “.
Mbah Dahlan lahir pada 1 agustus 1868. Di Kauman Yogyakarta. Kemarin. Kita memperingati hari kelahirannya. Kendati wafat pada 23 Februari 1923. Namanya terus disebut- disebut. Atas kebaikan dan jasanya. Itulah umur kedua. Sebuah ungkapan yang mempunyai makna , meski telah meninggal. Namanya senantiasa disebut- sebut untuk keteladanan.
Tentang perjalanan hidup beliau, sudah banyak yang menulis. Saya menulis dari sisi lain. Yang mungkin banyak yang belum mengerti. Suatu waktu , beliau pernah berpesan kepada Ki Bagus Hadikusumo.Salah seorang murid kepercayaan Mbah Dahlan. ” Gus, pokoke agama iku dingamalke” ( Gus, agama itu intinya di-amalkan). Pesan singkat yang penuh makna nan mendalam.
Melalui pesan itu saya paham, mengapa Mbah Dahkan mengajarkan “Wal Ashri” dan Al- Maun hingga berbulan- bulan. Padahal kedua ayat tersebut , ternasuk surat pendek. Kalopun kajian tafsir atas kedua surat itu, paling 2 minggu selesai.
Di waktu pengajian bersama para muridnya. Mbah Dahlan masih mengajarkan Al Maun. Sudah tiga bulan. Tak beranjak ke surat lainnya. Para muridnya pun bertanya ” Kyai, mengapa Kyai masih mengajarkan Al Maun ?”. Mbah Dahlan tersenyum, sambil bertanya balik ” Apakah kalian sudah mengamalkan surat al-Maun ?”. Para murid menjawab, ” Sudah Kyai…” Lantas disambung dengan pernyataan sudah menjadikan al-Maun sebagai bacaan pada setiap salat.
Mbah Dahlan langsung menjawab
“Kalian sudah hafal surat al-Maun, tapi bukan itu yang saya maksud. Amalkan! Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya, saudara – saudara belum mengamalkannya “. Seketika pula, Mbah Dahlan menyuruh para muridnya untuk berkeliling mencari orang miskin. membawanya pulang, diberi pakaian yang bersih lagi diberi makan dan minum.
Pengajaran plus implementasi Al Quran yang dilakukan Mbah Dahlan beserta murid- muridnya tersebut membuat gegeran. Dalam persepektif positif. Karena banyak warga miskin disantuni murid – murid Mbah Dahlan. Orang Jogja mengapresiasi peristiwa tersebut dengan menyematkan nama “gegernya Ara’aital”.
Bila Al Maun diajarkan Mbah Dahlan selama tiga bulan. Hingga berhasil melahirkan gerakan sosial praksis.
” Wal Ashri” lebih lama lagi. Sekitar 8 bulan. Para muridnya yang sudah paham pola pengajaran Mbah Dahlan , tak lagi banyak bertanya. Hanya saja , mbah Dahlan mengutip pendapat Imam Syafii tentang makna surat ” Wal Ashri”. “seandainya setiap manusia merenungkan surat ini ( “Wal Ashri”). niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.”. Dengan ” Wal Ashri” inilah Mbah Dahlan membentuk karakter murid- muridnya untuk senantiasa berkemajuan.
Ada peristiwa menarik di tahun 1921. Saat itu ada Sidang Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Ada seorang yang nampak asing tetapi sudah akrab dengan para pimpinan. Orang itu ialah Haji Agus Salim. Beliau punya gagasan sebaiknya Muhammadiyah menjadi partai politik. Haji Agus Salim dengan pidato yang memukau, menjelaskan pentingnya partai politik serta Muhammadiyah menjadi partai politik. Semua yang hadir dalam sidang itu , terpukau dan setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik.
Sekonyong- konyong Mbah Dahlan yang semula duduk lantas berdiri sambil memukul meja. Mbah Dahlan berkata “Kalau hadirin bisa menjawab pertanyaan saya, silahkan Muhammadiyah menjadi partai politik”.
Beliau pun meneruskan , dengan mengajukan 2 pertanyaan.
“Pertama, apa saudara-saudara tahu, faham betul apa Islam itu?”
” Kedua, apa saudara berani beragama Islam?”. Seketika yang hadir bungkam semua. Termasuk Haji Agus Salim sendiri tak sanggup menjawab.
Kyai Raden Haji Hadjid, termasuk salah seorang murid muda Mbah Dahlan bercerita tentang peristiwa tersebut. Kata beliau ” Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu. Bukannya kami tidak tahu pertanyaan itu, tetapi kami tidak sanggup menjawab pertanyaan itu”.
Pertanyaan pertama dicoba dijawab Muhammadiyah saat muktamar ke – 40 pada tahun1978 di Surabaya. Terdapat Komisi Ideologi yang membahas tentang Prinsip-prinsip Dasar Islam yang dikonsep oleh Pak Djindar Tamimy. Untuk pertanyaan kedua. Sependek pengetahuan saya belum pernah ada yang menjawab. Sebagai bukti. Muhammadiyah belum menjadi partai politik. Karena belum bisa menjawab 2 pertanyaan Mbah Dahlan tersebut.
Ada cerita yang menggetarkan saya, tentang ketulusan Mbah Dahlan dalam memperjuangkan islam dan umat. Suatu ketika, Mbah Dahlan sedang mengajar. istrinya mendadak datang dengan wajah sedih. Mbah Dahlan diminta pulang karena anak lelaki mereka yang sedang sakit, bertambah parah. Mbah Dahlan berpesan kepada murid-muridnya agar tetap menunggu di kelas, lantas beliau pulang. sang anak memang sakit bertambah parah.
Dipandangnya sang anak dan lalu berkata: “Wahai anakku Jumhan—nama kecil dari Irfan Dahlan—berdoalah kepada Allah agar engkau lekas sembuh. Dia-lah yang menakdirkan engkau sakit dan Dia pula yang akan menyembuhkan.
“Tapi, jika Allah takdirkan engkau sampai pada ajalmu, pergilah dengan tawakkal dan engkau akan bertemu di sana dengan kakakmu Johanah—putri pertama Dahlan— yang telah pergi lebih dahulu. Maka, tetapkanlah hatimu, tenanglah!“
Setelah mencium kening anaknya,Mbah Dahlan berpaling kepada istrinya yang tengah menangis. Sekejap, Mbah Dahlan juga bersedih.
Dengan tersendat-sendat, bekiau berkata: “Wahai Nyai, janganlah engkau menyangka bahwa jika aku tetap menunggui anakmu ini dia akan sembuh dan jika aku tinggalkan akan mati. Tidak Nyai, mati dan hidup di Tangan Allah, Tuhanmu dan Tuhanku, serta Tuhan dari Jumhan anak kita.”
Setelah itu, Mbah Dahlan kembali ke tempat mengajar. Sementara di rumah, istrinya duduk terpaku di samping anaknya. Dia hapus air mata yang mengalir deras. Akhirnya Allah Ta”ala pun menyembuhkan putra Mbah Dahlan.
Tabik
Yudi Janaka.