Oleh: Zulfikri (Kader Muhammadiyah Cabang Solo Utara dan Anggota Pembina Rumah Baca Terassharing)
Sejumlah kantung-kantung wilayah santri yang sekarang dikenal sebagai kampung santri atau kampung Muslim, tak sedikit yang dahulunya merupakan kampung yang menjadi basis Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebut saja sebagai contoh antara lain Jogokariyan, Kotagede, dan Ngruki.
Kampung Jogokariyan di Mantrijeron, Yogyakarta, dulu dikenal sebagai salah satu basis PKI di Yogyakarta. Di Jogokaryan semula juga tidak ada masjid. Adanya hanya sepetak langgar berukuran 9×15 meter berlantai satu.
Biro Rumah Tangga Masjid Jogokariyan Sudi Wahyono menceritakan, “Dulu, latar belakang di sini basisnya PKI, masyarakat banyak yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) PKI,” ucap Sudi dikutip dari JejakIslam.net.
“Kemudian ada juragan yang juga tokoh-tokoh Muhammadiyah cabang Karangkajen (dari kampung sebelah) yang melihat di sini banyak pekerja pengusaha batik. Niat awalnya, agar para pekerja itu bisa shalat berjamaah di masjid,” lanjut Sudi.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat membenarkan pernyataan H. Muhammad Chamid. “Masjid ini resmi dibangun tahun 1967 di atas tanah wakaf Bapak Jazuri. Situasi Jogokariyan saat itu, termasuk kampung merah, dulu banyak PKI,” tegasnya.
Chamid bercerita, pemuda-pemuda muslim saat itu masih sedikit, sekira lima orang. Mereka dengan getol berdakwah khususnya mengajak anak-anak untuk rajin datang ke masjid. Lewat anak-anak yang dibina inilah, satu persatu orang tuanya tersadarkan dan mau datang ke masjid. Bahkan, imbuhnya, sekarang banyak mantan PKI yang menjadi muadzin, shalat berjamaahnya tidak ketinggalan.
DAKWAH DI NGRUKI
Cerita yang mirip juga terjadi di kampung Ngruki, Grogol, Sukoharjo. Sebelum berdiri pondok pesantren Al Mukmin yang terkenal, kampung Ngruki juga merupakan kampung basis massa PKI. Hanya ada sebuah langgar kecil tempat mondok 9 santri mahasiswa yang didirikan oleh seorang mubaligh muda (saat itu) bernama Mochamad Amir.
Pada saat Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) berkecamuk, para aktivis PKI di kampung ini juga bergerak mendukung Gerakan itu. Mochamad Amir dan Sembilan santrinya termasuk target yang akan diculik.
Namun Allah mentakdirkan lain. Keluarga Mochamad Amir masih sempat mengungsi melalui pintu belakang dan menyeberang sungai ecil sebelum diculik. Tapi sayang, dua orang santrinya harus menjadi korban penyiksaan para anggota PKI itu. Santri Bernama Miftah dan Bahrun ditemukan sudah wafat dalam kondisi telinga dan kemaluannya dipotong.
Setelah RPKAD memasuki wilayah kota Surakarta dan sekitarnya, Ngruki bisa dimasuki kembali oleh Mochamad Amir. Beberapa tahun kemudian, sejumlah umat Islam di Solo mendirikan pondok pesantren Al Mukmin pada tahun di kampung PKI itu.
Salah satu tujuan kehadiran pondok pesantren di lingkungan Ngruki adalah sebagai tempat dakwah untuk mengajak orang-orang PKI dan yang terpapar PKI kembali ke jalan Islam. Proses dakwah juga tak berjalan mulus. Tapi penuh liku dan berjalan panjang.
Selain bertujuan untuk berdakwah di kampung itu, juga dalam rangka menyiapkan kader-kader dakwah di Indonesia. Pendirian pondok pesantren Al Mukmin Ngruki sendiri didukung oleh jaringan keluarga besar eks Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Pondok Pesantren Gontor, Pondok Jamsaren, dan juga jaringan alumni Pondok Persis Bangil.
Sekarang, daerah Ngruki dan sekitarnya dikenal sebagai kampung santri. Masjid-masjid yang dibangun di kampung ini tidak ada yang sepi dari jamaah kaum Muslimin yang mendirikan shalat berjamaah.
DAKWAH DI KOTAGEDE
Di Kotagede, Yogyakarta, PKI juga memiliki massa yang besar. Berdasarkan penangkapan sipil tahun 1965, terdapat 646 orang tahanan politik asal Kota Gede yang terafiliasi dengan PKI. Pertunjukan ketoprak provokatif dengan judul “Matine Gusti Allah (Matinya Gusti Allah)” atau “Gusti Allah Mantu” juga digelar oleh para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang merupakan underbouw PKI di daerah yang dikenal sebagai pusat Muhammadiyah itu.
Pada pemilu tahun 1955, PKI di Kotagede berhasil meraih posisi kedua kalah suara tipis dari Masyumi di peringkat pertama. Suara keduanya sama-sama besar. Namun pada pemilu di tahun 1957, PKI berhasil menjadi pemenang pemilu di Kotagede yang juga merupakan basis Muhammadiyah dengan mengalahkan Masyumi di peringkat kedua.
Sejak kemenangan di Pemilu 1957 itu, gerak PKI semakin massif di Kotagede. Pawai-pawai unjuk kekuatan dilakukan nyaris setiap hari. PKI juga mendirikan Pusat Pelatihan Pemuda Rakyat dan Gerwani di kampung Bumen, Kotagede. Seribuan pemuda PKI dilatih kemiliteran di pusat Latihan tersebut.
Keadaan semakin memanas saat menjelang G30SPKI di tahun 1965. Ketegangan antara massa PKI dengan Muhammadiyah (yang juga Masyumi) juga semakin meruncing. Namun secara umum tidak ada bentrok fisik antar kedua kelompok itu sebelum peristiwa Gestapu.
Pasca kegagalan Gerakan Gestapu. PKI di Kotagede tidak banyak bergerak. Sebagian dari para anggota PKI itu banyak yang ditangkap aparat dipenjara dan dibuang ke pulau Buru. Ada beberapa tokoh PKI yang dilindungi Kyai setempat. Seorang aktvis PKI Bernama Dulbasir misalnya justru dilindungi Kyai Humam (ayah KH As’ad Humam, penemu dan pencetus metode Iqra’ untuk belajar membaca Al Quran).
Sekira tahun 1970an, para simpatisan dan anggota PKI itu dibebaskan. Tidak semua Kembali. Tapi Sebagian besar Kembali ke Kotagede. Seorang tokoh Masyumi dan juga Ketua Pengurus Cabang Muhammadiyah Kotagede, Haji Chirzin, merupakan orang pertama yang berusaha melindungi an merangkul para eks PKI yang bebas. Padahal, Haji Chirzin merupakan salah satu target Utama PKI untuk dibunuh pada tahun 1965.
“Ketika keluar dari Buru, yang pertama kali ngerangkul kui Pak Chirzin. Padahal mbiyen kuwi targete PKI,” kata Basiran dan dibenarkan Purwo Sasmito, seorang seniman LEKRA simpatisan PKI di Kotagede, dikutip dari Tesis Luqman Hakim, Bina Damai Dalam Hubungan Muhammadiyah dan PKI di Kotagede.
Pola-pola pendekatan yang dilakukan di Kotagede itu juga bagian dari dakwah yang dilakukan kalangan umat Islam untuk mengajak para anggota PKI Kembali ke jalan yang benar dan lurus.
Jogokariyan, Kotagede, dan Ngruki adalah satu dari sekian banyak contoh keberhasilan dakwah kultural di kampung-kampung yang semula merupakan kampung-kampung merah, abangan, dan basis PKI. Jogokariyan dan Ngruki adalah contoh bukti konkret keberhasilan dakwah yang dilakukan umat Islam terhadap anggota dan keluarga PKI. Insya Allah, melalui dakwah-dakwah seperti itu, rekonsiliasi antara anak keturunan PKI dengan umar Islam akan berjalan damai dengan sendirinya. Wallahu a’lam.