Salat Sunah Taqwiyatul Hifdzi atau kadang dikenal dengan Salat Khifdzi dipercaya memiliki khasiat menguatkan hafalan. Amalan ini dipercayai berdasarkan hadis di bawah ini:
“Saat itu datanglah Ali bin Abi Thalib ke Rasulullah saw, Ali berkata: “Demi bapak dan ibuku (kata penghormatan), saya ini selalu lupa pada ayat-ayat yang saya hafalkan”. Rasulullah berkata: “Maukah aku mengajarimu ilmu yang bermanfaat bagimu yang mana setelah kamu mempraktikkan ilmu tersebut, maka kamu tidak akan lupa”. Ali berkata: “Mau ya Rasulullah”. Rasulullah berkata: “Ketika malam Jum’at, berdirilah salat, jika kamu mampu maka salatlah pada sepertiga malam terakhir, karena saat itu adalah waktu mustajabnya doa. Jika tidak mampu, maka salatlah di tengahnya malam. Jika tidak mampu juga, maka salatlah di awalnya malam. Salatlah empat rakaat. Pada rakaat pertama, bacalah Al-Fatihah dan surah Yasin. Pada rakaat kedua bacalah Al-Fatihah dan surat AdDukhan. Pada rakaat ketiga bacalah Al-Fatihah dan surah As-Sajdah. Pada rakaat keempat bacalah Al-Fatihah dan surah Al-Mulk. Dan setelah salat selesai, maka bacalah dzikir kepada Allah lalu bacalah shalawat kepada-ku dan mendoakan baik kepada semua Nabi, dan memintakan ampun pada semua orang beriman, kemudian berdoalah dengan doa khifdzi ini, maka kerjakanlah salat dan doa khifdzi tadi sebanyak tiga kali malam Jum’at, atau lima kali malam Jum’at, atau tujuh kali malam Jum’at, maka atas izin Allah pasti engkau dikabulkan (yaitu tidak gampang lupa hafalannya).” (HR. Tirmidzi).
Hadis di atas terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi, bab ad-Du’awaat, dengan sub-bab Do’a Hifzhi nomor 3570. Dalam Fatwa Tarjih menyebutkan bahwa At-Tirmidzi berpendapat bahwa hadis di atas adalah hadis hasan gharib. Klaim ini menunjukkan bahwa tingkat kebenaran hadis tersebut dianggap cukup baik, namun tetap memiliki elemen keghariban atau ketidakumuman dalam sanadnya. Walid ibn Muslim menjadi satu-satunya narator yang diketahui membawakan hadis ini.
Imam Hakim, dalam al-Mustadrak-nya, memberikan pandangan sejenis dengan menyebutkan bahwa hadis ini termasuk dalam kategori hadis gharib. Pemikiran ini muncul dari keraguan terhadap sanad hadis, khususnya adanya ‘An‘anah ibnu Jarir yang pertama, dan kemudian adanya Sulaiman ad-Dimasyqi yang hanya menyampaikan hafalan hadis tersebut.
Al-Albani, dalam Silsilah adl-Dla‘ifah, merinci bahwa hadis ini adalah hadis munkar, sebuah kategorisasi yang menunjukkan tingkat ketidakreliabilitasan hadis tersebut. Alasan yang dikemukakan meliputi keberadaan nama Sulaiman ad-Dimasyqi yang hanya menyebutkan hafalan hadis.
Dari berbagai pendapat yang diuraikan di atas, muncul perbedaan dalam penilaian hadis Salat Sunah Taqwiyatul Hifdzi. Beberapa ulama menyebutkan hadis ini maqbul (dapat diterima), sementara yang lain menyatakan ghairu maqbul (tidak dapat diterima).
Dalam menanggapi perbedaan ini, Divisi Fatwa Majelis Tarjih mendasarkan pada kaidah dalam ilmu hadis, yaitu “yang cacat didahulukan atas yang kuat.” Oleh karena itu, Divisi Fatwa Majelis Tarjih mengambil pendapat bahwa hadis tersebut tidak dapat dijadikan dalil yang sahih atau dapat dipegang sebagai pedoman keagamaan yang kokoh. Evaluasi kritis ini mendorong kehati-hatian dalam menerima suatu hadis sebagai dasar keyakinan dan praktik keagamaan.
Referensi: muhammadiyah.or.id
Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 11 Tahun 2015.