Muhammadiyah telah merespons isu-isu lingkungan melalui penyusunan Fikih Air (2014) dan Fikih Kebencanaan (2015). Keputusan ini mencerminkan perhatian serius terhadap tantangan lingkungan yang dihadapi, sekaligus menunjukkan bagaimana Muhammadiyah berusaha memberikan panduan praktis dan relevan dalam rangka mengelola sumber daya air dan menghadapi risiko bencana.
Penyusunan Fikih Air dan Fikih Kebencanaan oleh Muhammadiyah melibatkan pemikiran dan kajian mendalam yang melibatkan para saintis dan ahli fikih di dalamnya. Langkah ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak hanya melihat isu-isu tersebut sebagai permasalahan sekunder, melainkan sebagai bagian integral dari kehidupan umat Muslim.
Fikih Air dan Fikih Kebencanaan adalah dokumen-dokumen penting yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sebagai hasil dari Musyawarah Nasional Tarjih pada tahun 2014 di Palembang dan tahun 2015 di Yogyakarta. Kedua dokumen ini mencerminkan upaya Muhammadiyah dalam merespons isu-isu lingkungan dan bencana alam yang semakin mendesak di tengah kompleksitas tantangan global.
Fikih Air
Fikih Air, yang diinisiasi sebagai respons terhadap krisis air global, memiliki landasan filosofis yang mencakup nilai-nilai dasar Islam dan prinsip-prinsip etika lingkungan. Panduan ini memberikan arahan tentang bagaimana manusia seharusnya memandang, mengelola, dan melibatkan diri dengan air, sumber daya yang menjadi kebutuhan hidup mendasar dan yang semakin langka di dunia saat ini.
Dalam Fikih Air, Muhammadiyah menegaskan nilai-nilai seperti tauhid (keesaan Allah), rasa syukur, keadilan, keseimbangan, kebijakan untuk meninggalkan yang tidak berguna, dan kepedulian terhadap lingkungan (inayah). Tauhid, yang bukan hanya pemahaman tentang keesaan Allah tetapi juga tentang keterkaitan antara manusia, air, dan pencipta (Allah), membuka perspektif baru tentang hubungan antara umat manusia dan alam.
Fikih Air juga mencerminkan kekhawatiran Muhammadiyah terhadap perilaku eksploitatif manusia terhadap lingkungan. Konsep khalifah (pemimpin atau wakil) di bumi diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan. Dalam konteks ini, panduan ini menjadi semacam koreksi terhadap pandangan antroposentris yang sering mendominasi pemikiran manusia terhadap alam.
Konsep inayah, yang menggambarkan kepedulian terhadap lingkungan, menjadi dasar dalam Fikih Air. Lingkungan dilihat sebagai karunia Allah yang harus dijaga dan dilestarikan sebagai wujud ketaatan kepada-Nya. Pemahaman ini mengajarkan umat Muslim untuk melibatkan nilai-nilai keislaman dalam pengelolaan air, bukan hanya untuk kepentingan manusia, tetapi juga sebagai kewajiban moral untuk menjaga dan melestarikan ciptaan Allah.
Tidak hanya memberikan prinsip-prinsip teologis, Fikih Air juga memberikan panduan praktis tentang pengelolaan sumber daya air. Dokumen ini menekankan tanggung jawab untuk menjaga kebersihan air, menghindari pemborosan, dan berkontribusi pada keberlanjutan sumber daya air. Dalam pandangan Muhammadiyah, pengelolaan air yang bijaksana adalah ekspresi konkret dari ketundukan kepada ajaran agama dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Fikih Kebencanaan
Indonesia menghadapi realitas geografis yang rentan terhadap bencana alam. Dengan mengembangkan Fikih Kebencanaan, Persyarikatan Muhammadiyah memberikan panduan tentang bagaimana umat Muslim seharusnya merespons, merelakan, dan membantu sesama di saat-saat sulit yang disebabkan oleh bencana alam.
Fikih Kebencanaan mencerminkan kesadaran Muhammadiyah akan kerentanan geografis Indonesia yang sering mengalami gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, dan bencana alam lainnya. Dokumen ini memberikan pandangan Islam tentang bagaimana menghadapi bencana sebagai ujian Tuhan yang harus dihadapi dengan kesabaran, tawakal, dan optimisme.
Muhammadiyah menekankan bahwa bencana, apapun bentuknya, adalah ujian dari Allah yang harus dihadapi dengan penuh keimanan dan ketawakalan. Perspektif keislaman dalam Fikih Kebencanaan membimbing umat Muslim untuk tidak menyalahkan Tuhan dan untuk tetap memiliki harapan serta optimisme dalam menghadapi tantangan tersebut.
Fikih Kebencanaan juga memberikan panduan praktis tentang tanggapan positif terhadap bencana. Dokumen ini mendorong umat Muslim untuk memberikan bantuan yang lebih dari sekadar sumbangan, tetapi juga harus membangun dan membantu masyarakat dalam mengembalikan kehidupan normal mereka. Konsep pemberdayaan masyarakat dan tanggung jawab jangka panjang menjadi fokus dalam panduan ini.
Dalam Fikih Kebencanaan, Muhammadiyah menetapkan etika bantuan dan pemulihan yang mencakup prinsip bahwa bantuan harus lebih dari sekadar sumbangan, tetapi juga harus membangun dan membantu masyarakat dalam mengembalikan kehidupan normal mereka. Pemulihan dan pemberdayaan masyarakat menjadi prinsip utama dalam menghadapi bencana alam.
Muhammadiyah, melalui Fikih Kebencanaan, menggarisbawahi pentingnya solidaritas dan pelayanan kemanusiaan dalam menghadapi bencana. Memberikan bantuan dan dukungan kepada sesama yang terdampak bencana menjadi prinsip utama dalam panduan ini.
Urgensi Fikih Air dan Fikih Kebencanaan
Fikih Air dan Fikih Kebencanaan dari Muhammadiyah sangat penting dalam menghadapi perubahan iklim di Indonesia dan tantangan global yang semakin kompleks. Kedua dokumen ini memberikan landasan teologis dan panduan praktis kepada umat Muslim untuk merespons krisis air, bencana alam, dan dampak perubahan iklim.
Pertama-tama, Fikih Air dan Fikih Kebencanaan memberikan dasar teologis yang kuat untuk memandu umat Muslim dalam bersikap terhadap perubahan iklim. Pemahaman konsep tauhid (keesaan Allah) dalam Fikih Air mengubah paradigma manusia terhadap lingkungan menjadi lebih harmonis dan seimbang. Kesadaran bahwa air, sebagai salah satu sumber daya yang paling vital, adalah karunia Allah yang harus dijaga dan dilestarikan, memberikan dasar moral untuk bertindak secara berkelanjutan.
Dalam konteks perubahan iklim, di mana pola cuaca ekstrem dan ketidakpastian dalam ketersediaan air semakin meningkat, panduan praktis dari Fikih Air menjadi sangat relevan. Muhammadiyah mengajarkan tentang tanggung jawab umat Muslim untuk mengelola air dengan bijak, menghindari pemborosan, dan menjaga kebersihan air. Panduan praktis ini penting dalam konteks perubahan iklim di mana sumber daya air menjadi semakin terbatas dan rentan terhadap perubahan ekstrem.
Kedua, Fikih Kebencanaan memberikan kerangka etika dan praktis dalam merespons dampak perubahan iklim yang dapat menyebabkan bencana alam. Perubahan iklim, seperti peningkatan suhu global, intensitas siklon tropis, dan tingkat kekeringan, meningkatkan risiko bencana alam. Dalam konteks ini, Fikih Kebencanaan memberikan panduan tentang bagaimana umat Muslim seharusnya bersikap dalam menghadapi tantangan ini.
Panduan ini membangun kesadaran akan ketidakpastian lingkungan yang semakin meningkat, mengajarkan kesabaran, tawakal, dan sikap optimisme dalam menghadapi bencana alam yang mungkin disebabkan oleh perubahan iklim. Ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mengajarkan tentang ujian Tuhan dan tawakal kepada-Nya, bahkan dalam menghadapi ketidakpastian dan perubahan yang tidak terduga.
Ketiga, Fikih Air dan Fikih Kebencanaan menciptakan kesadaran akan solidaritas dan tanggung jawab sosial dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu individu atau komunitas, tetapi melibatkan tantangan global yang memerlukan kerjasama dan solidaritas lintas batas.
Fikih Air menekankan keberlanjutan dan tanggung jawab kolektif terhadap air sebagai sumber daya bersama. Ini menciptakan pemahaman bahwa menjaga air tidak hanya merupakan kewajiban individual tetapi juga tanggung jawab bersama untuk mewariskannya kepada generasi mendatang. Begitu juga, Fikih Kebencanaan menekankan pentingnya memberikan bantuan dan dukungan kepada sesama yang terdampak bencana, menciptakan rasa solidaritas dan kepedulian di tengah-tengah ketidakpastian perubahan iklim.
Dengan menyatukan pandangan teologis dan panduan praktis, Fikih Air dan Fikih Kebencanaan memberikan panduan penting dalam mengatasi perubahan iklim. Panduan ini tidak hanya merespons krisis air dan bencana alam saat ini, tetapi juga membentuk umat Muslim yang lebih sadar akan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan dan sesama manusia di tengah-tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Penulis: Ilham Ibrahim
Referensi:
Mohammad Ikhwanuddin, “Muhammadiyah’s Response to Climate Change and Environmental Issues: Based on Tarjih National Conference”, dalam Proceedings of the 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics and Social Sciences (BIS-HESS 2019), Advances in Social Science, Education and Humanities Research, vol. 436, 2020.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Air”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 03/2015-2020/Rabiul Akhir 1439 H/Januari 2018 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2018.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Kebencanaan”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 08/2010-2015/Syawal 1436 H/Agustus 2015 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2015.