Pandangan Mohammad Natsir Tentang Muhammadiyah

Mohammad Natsir merupakan tokoh Islam, cendekiawan, politikus dan sekaligus salah seorang negarawan yang dimiliki bangsa kita. Sejak usia muda, pria kelahiran Kabupaten Solok, Sumatra Barat 17 juli 1908 ini menaruh minat yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan, falsafah dan kajian keislaman. Meski ia sepenuhnya menempuh pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda, namun minatnya untuk menelaah khazanah ilmu keislaman tak pernah padam.

Yusril Ihza Mahendra, salah seorang murid Natsir, pernah mengatakan bahwa baik dalam tulisan maupun ceramah, Natsir senantiasa bersandar pada data, analisa dan argumentasi yang kokoh. Minat bacanya yang tinggi dan sikapnya yang luwes dalam pergaulan, merupakan modal Natsir menelurkan pandangan-pandangan yang berbobot dan juga memiliki daya pengaruh yang luas kepada publik.

Dalam sebuah sambutannya pada acara Musyawarah Muhammadiyah Wilayah (Musywil) Sulawesi Selatan tahun 1972, misalnya, Natsir memberikan pandangannya tentang Muhammadiyah. Ceramah tersebut akhirnya berhasil ditulis dan diterbitkan Media Da’wah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada tahun 1974 dengan judul Muhammadiyah Pelopor Pembaharuan Pemikiran Islam.

Natsir mengawali ceramahnya dengan satu pertanyaan serius: “Maa adraka maa Muhammadiyah?” (Apa sebenarnya Muhammadiyah itu?); “apa hakekat Muhammadiyah itu?” dan apa yang dinamakan dengan “pribadi” Muhammadiyah itu?

Muhammadiyah sebagai Organisasi Dakwah

Natsir mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang murni berjuang dalam dakwah. Dakwah bagi Natsir tidak hanya berada di masjid dan ceramah dari mimbar ke mimbar melainkan juga menjalar ke seluruh bidang kehidupan. “Dakwah itu melingkupi semua kegiatan”, ungkap Natsir. Ia juga mengutip QS. Ali Imran ayat 104 yang menegaskan bahwa berdakwah bukan monopoli golongan ulama atau cendekiawan saja, melainkan kewajiban seluruh umat Islam. Seluruh aspek kebaikan yang dikerjakan dan melarang berbuat kerusakan, semuanya mengandung nilai dakwah.

Natsir menilai jalan dakwah yang ditempuh Muhammadiyah telah tepat karena berdakwah dalam medan yang lebih luas. Tidak hanya di masjid, tapi juga menyentuh pendidikan dan kesehatan, serta menjalar ke fakir miskin dan yatim piatu. Laksana matahari, Muhammadiyah hadir sebagai pencerah kehidupan umat.

Pandangan Natsir berakar pada kiprah dakwah Muhammadiyah sejak kelahirannya. Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan melihat permasalahan dakwah tidaklah sebatas permasalahan akidah dan ibadah saja, tetapi jauh lebih rumit dan kompleks, yakni berkaitan dengan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, ekonomi, dan pemikiran yang melanda umat Islam. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, dakwah harus dapat membebaskan umat dari segala keterbelakangan.

Misalnya, pembaruan di bidang pendidikan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dengan membuat sekolah yang memiliki kualitas setara dengan sekolah milik negara maju adalah strategi yang sangat tepat untuk membendung arus kristenisasi yang berawal di Jawa dan sekitarnya. Alwi Shihab dalam bukunya Membendung Arus menjelaskan bahwa cara KH. Ahmad Dahlan dalam membendung arus Kristenisasi seperti ini belum diketahui banyak orang. Muhammadiyah saat itu membendung arus kristenisasi yang dibawa kolonial dengan cara bersaing secara sehat tanpa menebar benih permusuhan dan amarah.

Habitat dakwah Muhammadiyah memang bergerak di bidang sosial keagamaan. Tidak berlebihan kiranya jika menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang menjalankan keyakinannya dengan sebuah amalan nyata, yang hadir di tengah kehidupan sosial masyarakat dan menjadi solusi dalam setiap kondisi. Seluruh Nusantara kini terhampar simpul-simpul pelayanan sosial dengan jumlah yang tidak sedikit merupakan bukti shahih yang sulit dibantah. Karenanya, pengertian dakwah yang dijelaskan Natsir sejalan dengan apa yang telah dan sedang dikerjakan Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid

Mohammad Natsir juga menyebut Muhammadiyah sebagai peolopor gerakan tajdid. “Pembaharuan”, kata Natsir, tidak berarti menutup identitas diri sebagai seorang muslim. Natsir tidak menginginkan umat Islam merasa tidak bangga akan keislamannya dan mengalami inferiority complex dengan umat dan bangsa lain. Natsir menyebut bahwa pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah berada dalam jalan yang tepat.

Sayangnya, alasan gerakan tajdid yang dilakukan Muhammadiyah dinilai tepat, tidak begitu banyak dibicarakan Natsir. Namun hal tersebut sebagai sinyal bahwa pengertian tajdid yang dipahami Muhammadiyah sebagai jalan purifikasi dan dinamisasi dalam pandangan Natsir, setidaknya, tidak saling bertentangan.

Tajdid yang dipahami Muhammadiyah memiliki dua jalan: purifikasi untuk aqidah-ibadah dan dinamisasi untuk muamalah-duniawiyah. Pandangan ini berangkat dari teropong pemikiran terhadap konteks sosiokultural-spiritual yang berakar pada kontekstualisasi gagasan masa lalu dan masa depan. Purifikasi dalam hal ibadah menuntut seorang muslim untuk beribadah sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks al-Quran dan al-Sunnah, artinya berorientasi jauh lebih ke belakang. Sementara dinamisasi diarahkan untuk persoalan-persoalan muamalah yang menyesuaikan konteks, artinya berdimensi kekinian dan masa depan.

Kita tahu bahwa Natsir merupakan salah satu tokoh yang membawa pemikiran modern dalam Islam. Akan tetapi “pemikiran modern” Natsir tidak segenit tokoh lain yang senang mengumbar akrobat-akrobat pemikiran yang kontroversial. Begitu pula dengan Muhammadiyah, tajdid tidak dilakukan untuk menunjukkan arogansi intelektual, akrobat pemikiran atau sensasi pemberitaan. Tetapi tajdid difungsikan sebagai panduan, pencerahan, dan jalan keluar dari berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, kalau sekiranya ada yang bertanya “Maa adraka maa Muhammadiyah?”, maka jawaban Mohammad Nasir: Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan tajdid.

Ikuti kami

@pdmSukoharjo