Sosok ini merupakan salah seorang tokoh pendidikan, penggerak, dan ulama yang membesarkan Muhammadiyah di Sukoharjo. Adalah H. Drs. Suparno Zaini Dahlan M. Ag. Kiprahnya dalam pendidikan dan syiar Islam banyak membidani lahirnya sekolah dan masjid. Termasuk mencetak para mubalig.
Dilansir radar solo, Suparno Zaini Dahlan lahir di Sukoharjo, 5 Januari 1955 dan meninggal dunia pada 1 Februari 2018.
Suparno tercatat sebagai tokoh pendidikan di Muhammadiyah. Sejak Orde Baru, aktif membesarkan sekolah-sekolah Muhammadiyah hingga menjadi kebanggaan masyarakat.
Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Sukoharjo Wiwaha Aji Santoso mengungkapkan, ada kesamaan berpikir antara dirinya dan Suparno. Yakni, tentang kaderisasi. Pastinya, karena sama-sama menjadi seorang pendidik. Lebih sangat intensif ketika Wiwaha menjadi ketua PDPM Bendosari.
“Kami ini menganggap penting kaderisasi, karena sama-sama guru. Baik kaderisasi di persyarikatan Muhammadiyah maupun keumatan,” katanya.
Dikisahkan Wiwaha, atas dukungan Suparno, dirinya pernah menggabungkan delapan madrasah ibtidaiyah (MI), yakni empat MI Muhammadiyah dan empat MI Nahdlatul Ulama (NU) melebur jadi satu.
Kala itu, MI selalu dicibir, direndahkan karena kualitasnya. Sekitar 1980, kegiatan kepramukaan MI Muhammadiyah dan MI NU digabung. MI Muhammadiyah yakni MI Karanglo, Bendungan, Kramat, dan Toriyo.
Lalu, MI milik NU ada Walisongo Kalangan, Walisongo Jagan, Walisongo Manisharjo dan Walisongo Cabean.
“Saat itu, sebagai anak muda, saya agak tersinggung saat MI diremehkan, karena muridnya sedikit dan prestasinya sering kalah dengan SD negeri. Saya pikir, dengan kegiatan olahraga dan Pramuka, adalah cara yang cepat mengibarkan bendera MI sejajar dengan SD negeri. Akhirnya saat jambore ranting mulai kelihatan. Kualitas dan prestasi MI bisa sejajar dengan SD negeri,” papar Wiwaha.
Terpisah, Ustadz Bimawan Syamsudin, salah seorang tokoh agama di Sukoharjo mengungkapkan, dia belajar mengaji dari Suparno Zaini Dahlan sejak SD hingga SMA. Sebagai guru, Suparno memiliki kualitas serbabisa.
“Waktu di MIM Sukoharjo, saya kelas I sekitar 1980-1981. Mengajar apa saja bisa. Matematika bisa, bahasa Arab bisa, Sejarah bisa. Kalau jam kosong, yang mengajar beliau,” kenangnya.
Bimawan menyebut, Suparno adalah guru yang sabar. Bagaimana tidak, pengajian yang digelar di sekolah setiap Ahad sejak SD hingga SMA, hanya diikuti tiga orang. Meski ada peserta baru, namun seringnya keluar-masuk dan hanya menyisakan tiga orang itu tadi. Di antaranya Bimawan.
“Kenapa saya bilang sabar? Karena murid mengajinya hanya tiga anak. Saya, lalu Mas Yadi yang sekarang menjadi pejabat di Pegadaian Sukoharjo dan Mas Agus Hadi Wibowo, pelatih Taekwondo. Ada sih barengan, tapi tidak lama bertahan sampai lulus SMA,” ujar dia.
Metode yang diajarkan, lanjut Bimawan, kali pertama, anak-anak diajari membaca Alquran dengan metode Baghdadiyah. Kemudian belajar memaknai Alquran mulai juz amma.
“Misalnya begini, Bismillah kelawan nyebut Asmaning Allah. Ar Rahmaanir Rahiim kang Moho Asih, kang moho sayang. Jadi per kata dimaknai,” katanya.
Muhklis, wakil komandan SAR Sukoharjo mengenang Suparno sebagai pendidik yang getol melawan hoax dan meresahkan di awal 1980. Kala itu ada pembangunan Jembatan Bacem. Si “penunggu” Jembatan Bacem meminta tumbal es dawet yang cendolnya terbuat dari mata anak-anak.
“Itu menyebabkan warga diselimuti kekhawatiran. Resah nanti anak-anaknya jadi korban untuk tumbal,” terang dia.
Dampak yang lebih luas, sekolah menjadi sepi. Nyaris seluruh orang tua melarang anaknya masuk sekolah. Takut diculik. Ketika anak nekat berangkat sekolah, dijemput paksa oleh keluarganya.
“Saya, adik dan kakak pernah nekat sekolah. Tiba-tiba dijemput simbah (nenek atau kakek), padahal belum waktunya pulang. Saya ya senang saja, diajak simbah berjualan di pasar Sukoharjo. Dikasih jajanan. Tapi begitu resahnya orang-orang saat itu dengan adanya hoax tersebut,” jelas Muhklis.
Merespons fenomena meluasnya kabar bohong, Suparno Zaini Dahlan langsung mengumpulkan orang tua dan anak-anak di sekolah. Lalu, diberi penjelasan bahwa kabar itu tidak benar dan hanya bertujuan membuat warga resah.
Dengan penjelasan secara gamblang dari Suparno Zaini Dahlan, masyarakat tidak lagi terhasut hoax. Mereka lalu mengizinkan anak-anak bersekolah kembali.
Kini, hasil perjuangan dan doa Suparno Zaini Dahlan meninggalkan banyak hal bermanfaat bagi masyarakat. Baik di bidang pendidikan, keagamaan, dan keumatan lainnya.
Sang guru penyabar ini juga turut andil dalam berdirinya Masjid Agung Baiturrahman Sukoharjo. Kali terakhir, dia dipercaya menjabat kepala Kantor Kementerian Agama Sukoharjo dan Wonogiri. []
Sumber: radarsolo