Agita Asri Kusumawardani
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
e-mail: A510230249@student.ums.ac.id,
PENDAHULUAN
Zakat merupakan fondasi utama dalam sistem ekonomi Islam yang tidak hanya bertujuan untuk menunaikan kewajiban keagamaan, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan ekspresi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks masyarakat modern yang diwarnai oleh kemajuan teknologi, krisis kemanusiaan, dan ketimpangan sosial yang kompleks, zakat bertransformasi menjadi instrumen filantropi strategis yang mampu merespons kebutuhan zaman (BAZNAS, 2023)[1]. Perkembangan teknologi digital telah mengubah pola distribusi dan partisipasi dalam aktivitas zakat. Generasi muda berperan aktif dalam mendukung gerakan zakat digital melalui platform media sosial dan aplikasi donasi online. Partisipasi ini memunculkan praktik filantropi zakat tidak lagi dipandang sekadar sebagai ibadah formal, tetapi juga sebagai sarana aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial (Fauzia, 2021)[2].Banyak dari mereka yang terlibat sebagai relawan dalam berbagai kegiatan sosial, mulai dari bersih-bersih lingkungan, mengajar anak-anak kurang mampu, hingga membantu korban bencana alam. Mereka percaya bahwa kontribusi non-materiil ini sama berharganya, bahkan terkadang lebih besar dampaknya.
Filantropi yang berkelanjutan adalah yang mampu menciptakan kemandirian bagi penerima manfaat, bukan sekadar memberikan bantuan sesaat. “Filantropi bukan lagi sekadar memberi ikan, melainkan mengajarkan cara memancing,” ungkap Bennet (2018)[3].tujuan utama dari tindakan filantropis tidak seharusnya hanya berfokus pada pemberian bantuan sesaat atau pemenuhan kebutuhan langsung (memberi ikan), melainkan harus diarahkan pada pemberdayaan individu atau komunitas agar mereka mampu berdiri di atas kaki sendiri dan mengatasi masalah secara berkelanjutan. Mereka percaya bahwa pemberdayaan adalah kunci, dan filantropi harus mampu menciptakan kemandirian bagi penerima manfaat. Fenomena ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam memaknai zakat dan filantropi, terutama di kalangan generasi muda. Mereka tidak lagi menempatkan filantropi sebagai kewajiban semata, melainkan sebagai bagian dari identitas sosial yang selaras dengan nilai-nilai personal seperti keadilan, keberlanjutan, dan pemberdayaan. Dalam dunia yang semakin terkoneksi, mereka memanfaatkan teknologi sebagai sarana membangun gerakan sosial yang masif, cepat, dan berdampak luas. Oleh karena itu, penting untuk memahami karakteristik, motivasi, serta tantangan yang dihadapi generasi muda dalam konteks filantropi modern.
ISI
Milad ke-23 Lazismu menjadi momentum tepat untuk merenungi peran filantropi, khususnya di tengah generasi muda. Stigma bahwa filantropi identik dengan “orang tua” atau “kaum berada” perlahan memudar. Kini, generasi muda menunjukkan wajah filantropi yang berbeda, lebih dinamis, inklusif, dan relevan dengan zaman. Lebih jauh lagi, generasi muda telah memperluas definisi “memberi” itu sendiri. Mereka tidak hanya memberikan materi berupa uang atau barang. Mereka juga aktif memberikan waktu, tenaga, ide, dan keahlian.
Platform digital menjadi kanal utama bagi generasi muda untuk mengekspresikan semangat filantropi mereka. Media sosial, platform, dan berbagai aplikasi donasi mempermudah mereka untuk terhubung dengan isu-isu sosial, menggalang dana, atau bahkan berpartisipasi langsung dalam kegiatan kerelawanan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi nilai penting yang mereka cari, sehingga kepercayaan terhadap lembaga filantropi menjadi krusial. Kurangnya edukasi mengenai literasi filantropi, serta adanya keraguan terhadap transparansi lembaga, dapat menjadi penghambat. Oleh karena itu, lembaga seperti Lazismu memiliki peran penting untuk terus berinovasi, beradaptasi dengan tren, dan membangun jembatan komunikasi yang efektif dengan generasi muda.
Edukasi tentang pentingnya zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang dikemas secara menarik dan relevan dengan kehidupan mereka akan sangat membantu. Di Milad ke-23 ini, Lazismu memiliki kesempatan emas untuk merangkul dan memberdayakan potensi filantropi generasi muda. Dengan pendekatan yang tepat, kolaborasi yang inovatif, dan komunikasi yang terbuka, generasi muda akan menjadi kekuatan utama dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Filantropi di mata mereka adalah masa depan yang penuh harapan, di mana kebaikan terus bersemi melalui tangan-tangan kreatif dan hati yang penuh empati.
Motivasi generasi muda dalam berfilantropi bukan hanya sekadar dorongan empati, tetapi juga berakar pada nilai-nilai personal seperti keadilan sosial, keberlanjutan, dan identitas diri. Aktivitas filantropi menjadi salah satu cara bagi mereka untuk menunjukkan kepedulian sosial sekaligus memperkuat citra diri sebagai individu yang peduli dan aktif secara sosial. Meski antusiasme tinggi, filantropi generasi muda tak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah persoalan keberlanjutan. Keterlibatan mereka sering kali bersifat sporadis atau reaktif terhadap isu-isu viral, tanpa keterlibatan jangka panjang. Selain itu, ada kecenderungan menjadikan filantropi sebagai ajang pencitraan semata, terutama ketika aktivitas sosial lebih banyak ditampilkan di media sosial daripada dilakukan secara langsung dan konsisten.
Kritik lainnya berkaitan dengan minimnya pemahaman mendalam mengenai isu-isu sosial yang mereka bantu. Banyak anak muda yang ikut menyumbang karena tren atau tekanan sosial, bukan karena kesadaran yang dibangun atas dasar informasi dan refleksi yang matang. Oleh karena itu, dibutuhkan edukasi yang berkelanjutan agar semangat filantropi yang tumbuh di kalangan generasi muda dapat berdampak lebih signifikan dan berjangka panjang. Untuk menumbuhkan filantropi yang sehat dan berkelanjutan, pendidikan memiliki peran sentral. Kurikulum yang menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan tanggung jawab sosial sejak dini akan membentuk karakter generasi muda yang peka terhadap lingkungan sosialnya. Di sisi lain, komunitas dan organisasi sosial juga dapat menjadi ruang belajar sekaligus laboratorium praktik sosial bagi anak muda.
Program-program volunteering, pengabdian masyarakat, dan kegiatan sosial berbasis kampus maupun sekolah terbukti efektif dalam menumbuhkan kepekaan sosial. Dalam konteks ini, peran mentor dan tokoh inspiratif sangat penting dalam membimbing generasi muda agar tetap berada dalam jalur filantropi yang beretika, berkelanjutan, dan berorientasi pada dampak nyata. Kepemimpinan generasi muda juga perlu diperkuat dalam struktur kelembagaan filantropi. Mereka bukan sekadar mitra atau target program, tetapi juga perlu diberi ruang untuk mengambil peran strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program zakat. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan gerakan filantropi sekaligus menumbuhkan rasa kepemilikan yang kuat terhadap misi-misi sosial. Sehingga, agar gerakan ini tidak kehilangan arah dan esensi, dibutuhkan pendampingan, edukasi, dan ruang aktualisasi yang tepat. Lembaga seperti Lazismu memiliki tanggung jawab besar untuk membina, menginspirasi, dan melibatkan generasi muda dalam ekosistem filantropi yang transparan, berdampak, dan berkelanjutan. Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim meskipun saat ini hanya sekitar 80an% akan mudah diambil zakatnya ketika sadar akan makna filosofis adanya zakat di mana itu merupakan bentuk ibadah yang berimplikasi pada dunia dan akhirat.
KESIMPULAN
Filantropi di kalangan generasi muda telah mengalami transformasi signifikan dari aktivitas tradisional menjadi gerakan sosial yang dinamis, digital, dan berorientasi pada keberdayaan. Peran teknologi digital sangat membantu dalam memfasilitasi keterlibatan mereka, namun di sisi lain juga memunculkan tantangan seperti keberlanjutan aksi, kurangnya literasi sosial, dan potensi. Konsep filantropi modern menuntut pendekatan yang lebih strategis dan berdampak, yakni pemberdayaan penerima manfaat agar mandiri dan mampu keluar dari ketergantungan. Dalam konteks ini, pendidikan, pendampingan, dan peran kelembagaan seperti Lazismu menjadi kunci penting dalam membina semangat filantropi yang beretika, konsisten, dan berjangka panjang. Diperlukan sinergi antara lembaga, komunitas, dan sistem pendidikan untuk membangun ekosistem filantropi yang inklusif dan berkelanjutan, serta memastikan generasi muda tidak hanya menjadi peserta, tetapi juga pemimpin dalam gerakan sosial yang bermakna dan transformatif.
[1] BAZNAS. (2023). Outlook Zakat Indonesia 2023. Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional.
[2] Fauzia, A. (2021). “Digital Zakat and Islamic Charity in Indonesia: Changing Patterns of Religious Giving.” Southeast Asian Studies, 10(2), 211–232. https://doi.org/10.20495/seas.10.2_211
[3] Bennet, A. (2018). Filantropi modern: Menggeser paradigma dari bantuan ke pemberdayaan. Jurnal Sosial dan Kemanusiaan, 12(3), 45–58.