Ketika Zikir Alam Tidak Lagi Didengar
Di suatu pagi yang penuh polusi, langit tampak murung dan burung-burung enggan berkicau. Laut menjerit oleh tumpahan minyak, tanah menangis oleh racun kimia, dan manusia khalifah yang seharusnya menjaga justru sibuk membangun menara keserakahan. Dunia modern seakan kehilangan “ruh”-nya.
Kita berbicara tentang kemajuan, tetapi lupa pada keseimbangan. Kita menulis tentang etika, tetapi lupa pada fitrah. Dan di tengah hiruk-pikuk algoritma dan teknologi, gema Al-Qur’an seakan berbisik lirih:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum [30]: 41)
Ayat ini bukan sekadar nubuat ekologis, melainkan cermin yang menelanjangi perilaku kita hari ini. Kerusakan itu bukan hanya di bumi tetapi juga di dalam diri manusia. Kita sedang menyaksikan dua krisis sekaligus: krisis moral dan krisis ekologi.
Namun, Al-Qur’an mukjizat yang hidup melintasi zaman selalu menawarkan jalan pulang.
Membaca Mukjizat Al-Qur’an di Tengah Krisis Modern
Alam sebagai Ayat yang Hidup: Etika Ekologis Qur’ani
Alam bukan sekadar latar bagi kehidupan manusia; ia adalah kitab terbuka yang berbicara tentang kebesaran Tuhan.
“Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.”
(QS. Al-Isra [17]: 44)
Ketika manusia merusak hutan, membunuh sungai, dan menutup telinganya dari bisikan alam, sejatinya ia sedang memutus dialog spiritual dengan semesta. Dalam tafsir kontemporer seperti yang dikemukakan Koláček (2020), pandangan etis Qur’ani tentang alam menegaskan keseimbangan (mīzān) dan keteraturan (fiṭrah) sebagai inti moral ekologi Islam.
Mizan bukan hanya konsep ekosistem, tetapi juga cermin spiritual: keseimbangan antara nafsu dan nurani, antara ambisi dan kasih sayang. Ketika keseimbangan ini hancur, maka bukan hanya bumi yang guncang jiwa manusia pun rapuh.
Islam memandang bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar tindakan ekologis, melainkan ibadah. Ketika Nabi bersabda, “Menanam satu pohon adalah sedekah bagi setiap makhluk yang memakan buahnya,” itu bukan pujian bagi petani semata, melainkan deklarasi teologis bahwa berbuat baik kepada bumi adalah bentuk sujud yang nyata.
Mukjizat Intelektual: Al-Qur’an dan Sains Modern
Mukjizat Al-Qur’an bukan hanya pada keindahan bahasanya, tetapi pada kedalaman maknanya yang tak pernah habis digali oleh zaman.
Dalam tafsir saintifik yang sehat seperti dijelaskan oleh Guessoum (2008) dan Daneshgar (2023) hubungan Al-Qur’an dengan sains bukanlah tentang mencari “rumus kimia” di setiap ayat, melainkan tentang membaca semangat ijtihad dan keterbukaan intelektual yang diilhami wahyu.
Ayat tentang api dari pohon hijau (QS. Yasin [36]: 80), yang dulu ditafsirkan secara simbolik, kini dibaca kembali dalam konteks energi hijau bahkan disebut oleh Ramli et al. (2014) sebagai inspirasi bagi konsep biodiesel. Namun, inti dari mukjizat itu bukan sekadar “teknologi”, melainkan kesadaran bahwa alam telah disediakan untuk dimanfaatkan tanpa melampaui batas (la tusrifu).
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A‘raf [7]: 31)
Ayat ini, dalam konteks modern, menjadi etika ekologis sekaligus prinsip keberlanjutan. Bahwa konsumsi tanpa kendali baik energi, teknologi, atau bahkan informasi adalah bentuk fasad (kerusakan) yang sama dengan pencemaran moral dan lingkungan.
Ijtihad dan Hermeneutika Baru: Menjawab Dunia yang Berubah
Seiring berkembangnya zaman, interpretasi terhadap mukjizat Qur’ani juga berevolusi. Fazlur Rahman pernah menegaskan bahwa memahami Al-Qur’an berarti memahami “semangat moral di balik teks”, bukan hanya huruf-hurufnya.
Abdullah Saeed (2013) dalam Reading the Qur’an in the Twenty-First Century mengajukan pendekatan kontekstual: bahwa pesan ilahi harus dipahami dengan kesadaran sejarah dan realitas sosial masa kini. Begitu pula Calis (2022) menunjukkan bahwa gagasan kontekstualisme sudah ada dalam akar sufistik klasik, seperti pemikiran Ibn ‘Arabi yang melihat wahyu sebagai “kata-kata Tuhan dalam bahasa manusia.”
Maka, tugas kita hari ini bukanlah sekadar membacakan Al-Qur’an, tetapi membaca dunia dengan cahaya Al-Qur’an.
Menemukan mukjizat bukan dalam hal-hal spektakuler, melainkan dalam kemampuan teks suci ini menuntun akal dan hati agar terus hidup selaras dengan kehendak Tuhan.
Dari Krisis Moral Menuju Kesadaran Spiritual
Krisis moral yang melanda dunia korupsi, hedonisme, dehumanisasi berakar dari hilangnya kesadaran akan amanah. Dalam Al-Qur’an, manusia dipanggil bukan untuk menguasai bumi, tetapi menjaganya.
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, tetapi manusia menerimanya.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 72)
Ayat ini, menggambarkan bahwa tanggung jawab moral manusia melampaui makhluk lainnya. Namun dalam tafsir kontemporer, seperti Ichwan dan Ming (2025), “amanah” juga diartikan sebagai kapasitas etis untuk menggunakan akal dan ijtihad dalam merawat dunia.
Maka, ketika kita menciptakan teknologi, membangun peradaban digital, dan menjelajahi ruang angkasa Al-Qur’an menuntut agar semua itu berpijak pada nilai hikmah, mizan, dan rahmah.
Kemajuan tanpa kesadaran spiritual hanyalah kebisingan mekanik tanpa makna.
Seruan dari Langit dan Bumi
Kini bumi menunggu manusia untuk kembali menjadi khalifah sejati bukan penguasa, tapi penjaga.
Setiap kali hujan turun, ia membawa pesan dari langit: bahwa rahmat masih diberikan, asalkan manusia mau kembali menundukkan hati.
Mukjizat Al-Qur’an bukan sekadar pada masa lalu. Ia hidup dalam setiap napas yang menghargai ciptaan, dalam setiap ilmu yang mendekatkan pada hikmah, dalam setiap teknologi yang menebar maslahat.
Barangkali kini saatnya kita berhenti bertanya: “Apakah Al-Qur’an masih relevan?”
Dan mulai bertanya: “Apakah kita masih hidup relevan dengan Al-Qur’an?”
Referensi
Baharuddin, A., & Musa, M. N. (2017). Environmental Ethics in Islam. Islamic Bioethics: Current Issues and Challenges. World Scientific Publishing Europe Ltd.
Calis, H. (2022). The Theoretical Foundations of Contextual Interpretation of the Qur’an in Islamic Theological Schools and Philosophical Sufism. Religions, 13(4), 321.
Guessoum, N. (2008). The Qur’an, science, and the (related) contemporary Muslim discourse. Zygon, 43(2), 411–438.
Koláček, J. (2020). The Qurʼān as a source for contemporary Islamic environmental ethics. Archiv Orientalni, 88(1), 1–22.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
Saeed, A. (2013). Reading the Qur’an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach. Routledge.
Yazicioglu, I. (2013). Understanding the Qur’anic Miracle Stories in the Modern Age. Pennsylvania State University Press.
Biodata Singkat:
- Raffin Althafullayya adalah peneliti dan inovator muda berdedikasi dengan latar belakang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Berpengalaman dalam riset, penulisan akademik, serta pengembangan solusi inovatif di bidang pendidikan, fintech syariah, dan pemberdayaan masyarakat. Aktif sebagai editor jurnal, pembina riset, dan telah meraih berbagai prestasi nasional maupun internasional.