Antara Pidato dan Piagam: Lahirnya Pancasila dalam Kontroversi

IMG-20250602-WA0021
Bagikan Juga Ke

Oleh : Tegar S. Ahimza

(Profesional Copywriter, Pecinta Kopi Pahit dan MPI PW Muhammadiyah Jawa Tengah)

Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati momen yang dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila. Namun, peringatan tahun ini berlangsung tanpa gegap gempita. Mungkin karena bertepatan dengan hari Ahad, atau mungkin pula karena perubahan sikap pemerintah terhadap tanggal historis ini. Apa yang dulu begitu digaungkan, kini tampaknya mengalami pergeseran makna.

Sejarah mencatat bahwa peringatan Hari Lahir Pancasila pertama kali digelar secara resmi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, khususnya sejak 1959. Kala itu, Soekarno menempatkan dirinya sebagai “Penggali Pancasila”—sebuah narasi yang memperkuat posisinya sebagai arsitek ideologis bangsa. Namun, seiring perubahan rezim, narasi ini pun mengalami koreksi.

Dari 1 Juni ke 18 Agustus: Dua Titik Penting

Pada era Orde Baru, mulai tahun 1967, para penulis dan pengkaji Pancasila mulai menegaskan bahwa hari lahir Pancasila seharusnya merujuk pada tanggal 18 Agustus 1945—hari di mana rumusan resmi Pancasila ditetapkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sementara itu, pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam Sidang BPUPKI memang mencetuskan istilah “Pancasila” secara eksplisit untuk pertama kali. Dalam pidatonya, Soekarno menyampaikan lima prinsip dasar negara: kebangsaan, internasionalisme (perikemanusiaan), mufakat (demokrasi), kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Rumusan ini kemudian disarikan menjadi tiga sila: Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan—yang akhirnya diringkas menjadi satu: gotong royong.

Inspirasi Soekarno berasal dari berbagai sumber ideologis, mulai dari pemikiran gurunya, H.O.S. Tjokroaminoto, pengaruh ide-ide sosialisme Eropa dan Marxisme, hingga filsafat Timur seperti San Min Chu I dari Sun Yat Sen. Konsepnya mencerminkan sintesis antara nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme—kerangka pemikiran yang kemudian dikenal sebagai Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).

Pergulatan Tafsir: Ketuhanan atau Keadilan Sosial?

Pada era 1950-an, tafsir atas Pancasila masih sangat cair. Perdebatan mengenai sila yang paling utama mencerminkan perbedaan ideologi yang mengemuka. Asmara Hadi, misalnya, menempatkan keadilan sosial sebagai inti Pancasila menurut tafsir Soekarno. Sementara itu, Buya Hamka dengan tegas menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama sekaligus urat tunggang Pancasila.

Ada pula pandangan yang lebih kritis. Sutadjji, tokoh kiri kala itu, menilai Pancasila sebagai gagasan kabur yang mencoba menyatukan idealisme dan materialisme secara kontradiktif. Pancasila, menurutnya, hanya menjadi alat justifikasi bagi sistem ekonomi kapitalis yang bermain mata dengan sosialisme.

Roeslan Abdulgani, salah satu penafsir utama Pancasila pada masa Orde Lama, menganggap Pancasila sebagai hasil sintesis dari beragam ideologi besar: Islam modern, Marxisme, demokrasi modern, dan tradisi komunal desa. Pandangan ini selaras dengan pemikiran George McTurnan Kahin, sejarawan Amerika yang banyak meneliti sejarah Indonesia modern.

Orde Baru dan Standardisasi Pancasila

Ketika Orde Baru berkuasa, penafsiran Pancasila versi Soekarno dianggap menyimpang. Presiden Soeharto menekankan perlunya penjabaran Pancasila secara “murni dan konsekuen”. Melalui TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Eka Prasetia Pancakarsa, serta Inpres No. 12/1968, penyebutan sila-sila Pancasila distandarkan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama.

Nugroho Notosusanto dan A.G. Pringgodigdo, sejarawan yang mendampingi pembentukan narasi resmi Orde Baru, mendukung pandangan bahwa Pancasila resmi lahir pada 18 Agustus 1945. Pidato 1 Juni hanya dianggap sebagai salah satu mata rantai dalam proses panjang perumusan dasar negara, yang mencakup pidato Moh. Yamin (29 Mei), Soepomo (31 Mei), dan Soekarno (1 Juni), lalu dilanjutkan dengan Piagam Jakarta (22 Juni), hingga pengesahan resmi pada 18 Agustus.

Dengan demikian, meski pidato 1 Juni dianggap sebagai deklarasi paling eksplisit dan sistematik tentang Pancasila, ia bukanlah satu-satunya atau yang final.

Kelahiran yang Tak Pernah Selesai Diperbincangkan

Perdebatan mengenai kapan Pancasila “lahir” sejatinya mencerminkan dinamika sejarah dan politik Indonesia. Narasi sejarah bukan hanya soal fakta, tetapi juga bagaimana fakta itu dibingkai oleh kekuasaan, ideologi, dan kebutuhan zaman.

Peringatan 1 Juni mungkin terasa sunyi tahun ini, tetapi sejarah tetap mencatatnya sebagai tonggak penting dalam perjalanan bangsa. Bukan karena pidato itu satu-satunya sumber Pancasila, melainkan karena ia menandai awal dari pencarian jati diri ideologis Indonesia—sebuah pencarian yang hingga kini masih terus bergema. (Ahimza)


Bagikan Juga Ke

Ikuti kami

@pdmSukoharjo