Zulfikri (Kader Muhammadiyah Cabang Solo Utara dan Anggota Pembina Rumah Baca Terassharing)
Pasca kegagalan Gerakan 30 September (G30S) atau Gestapu yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diikuti dengan pembersihan para aktivis partai itu oleh RPKAD, banyak anggota-anggota PKI yang harus hidup di balik terali besi atau melarikan diri. Mereka yang dipenjara sebagian besar tanpa melalui proses pengadilan. Banyak diantara mereka dan keluarga mereka yang hidup penuh dengan kesulitan dan kesusahan.
Situasi itulah yang kemudian memantik hati salah seorang keluarga besar Masyumi untuk membantu orang-orang PKI itu. Ia adalah Adi Sasono. Adi Sasono merupakan anak seorang tokoh Muhammadiyah di Pekalongan. Pamannya, Dahlan Ranuwihardjo, tokoh HMI. Ia juga merupakan cucu keponakan Mr. Mohammad Roem, tokoh Masyumi yang dikenal lewat Perjanjian Roem-Roijen yang pernah menduduki jabatan Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Mendagri.
Adi Sasono merupakan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) saat di Pekalongan. Ia pernah menjadi Ketua HMI cabang Bandung saat kuliah di ITB Bandung. Pasca G30S/PKI, ia juga aktif di gerakan mahasiswa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Dewan Mahasiswa ITB, dan juga Sekjen Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
Sekira tahun 1970an, Adi Sasono mendirikan Yayasan Humanika (Himpunan Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan). Lembaga ini didirikan bersama istri Ahmad Yani, istri Yos Sudarso, dan istri KH. Wahid Hasyim. Kegiatan utamanya, menyantuni para narapidana dan tahanan politik yang dituduh sebagai anggota PKI. Melalui Yayasan ini pula, Adi Sasono mendampingi orang-orang PKI dan keluarganya yang dimatikan secara ekonomi dan sosial.
“Dalam Islam ajaran terpenting setelah tauhid adalah menegakkan keadilan. Dan untuk berbuat adil itu tak boleh berstandar ganda. Jadi, kita harus berbuat adil sekalipun terhadap orang yang berbeda dengan kita maupun yang memusuhi kita,” kata Adi Sasono.
Suatu saat dalam sebuah diskusi terbatas mengenai buku karya Victor Tanja yang berjudul HMI, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia yang diadakan di Universitas Islam Indonesi (UII) Yogyakarta, seorang pembicara mengkritik tokoh-tokoh Masyumi. Menurutnya, tokoh-tokoh Masyumi hanya bicara-bicara saja, kerjanya cuma mengkritik pemerintah, tapi tidak berbuat konkret untuk umat. Ia menunjukkan contoh keikutsertaan tokoh-tokoh Masyumi menandatangani Petisi 50 yang menyebabkan mereka dimusuhi oleh Rezim Orde Baru dan makin tersingkir dari pentas politik demokrasi nasional.
Kritik itu langsung dijawab oleh Adi Sasono yang saat itu hadir di dalam diskusi terbatas itu. Ia berbalik bertanya kepada si pengkritik apakah ia benar-benar tahu apa yang telah dikerjakan oleh tokoh-tokoh Masyumi itu.
“Tahukah Saudara, setiap bulan tokoh-tokoh itu melalui Lembaga yang dipimpinnya menyantuni saudara-saudara kita yang kepala keluarga atau anggota keluarganya sedang di penjara (oleh rezim orde baru)? tanya Adi Sasono.
Melalui kolaborasi inilah tokoh-tokoh Islam khususnya keluara besar Masyumi seperti Adi Sasono dan lain-lain itu berdakwah dan membantu para anggota PKI pasca tahun 1965.