Darul Ahdi wa al-Syahadah, Negara Pancasila Perspektif Islam Berkemajuan

Fauzan Anwar Sandiah

Perjuangan, peran dan kontribusi Muhammadiyah melalui tokoh, aktivis, kader, dan anggotanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diketahui luas. Misalnya, perjuangan Ki Bagus Hadikusumo dalam diplomasi kemerdekaan Indonesia ke Tokyo pada bulan November 1943 bersama Soekarno dan didampingi Mohammad Hatta.

Ada pula peran Kasman Singodimedjo yang menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat, cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian kontribusi Buya Hamka dalam mensosialisasikan Pancasila yang sempat kontroversial di kalangan muslim.

Tentu mustahil menyebutkan satu per satu perjuangan, peran dan kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa Indonesia. Selain telah sejak awal mula bergerak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendirian sekolah, rumah sakit, dan gerakan pemberdayaan, Muhammadiyah merupakan pilar dan mitra strategis negara Indonesia modern dari masa ke masa.

Apa itu Darul Ahdi wa al-Syahadah?

Darul Ahdi wa al-Syahadah merupakan keputusan Muktamar ke-47 yang diselenggarakan pada 18-22 Syawal 1436 Hijriyah atau bertepatan pada tanggal 3-7 Agustus 2015 di Makassar.

Secara terminologis, Darul Ahdi wa al-Syahadah terdiri atas tiga konsep yakni Negara Pancasila sebagai konsensus Nasional (dar al-ahdi), dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah), untuk menjadi negara yang aman dan damai (dar al-salam).

Secara etimologis, Darul Ahdi wa al-Syahadah bermakna bahwa “segenap umat Islam harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai dar al-syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan”. Uraian terminologis dan etimologis ini termaktub dalam dokumen berjudul Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah,(PP Muhammadiyah, 2018).

Darul Ahdi wa al-Syahadah adalah sumbangan pemikiran yang berupaya meneguhkan makna penting Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia. Darul Ahdi wa al-Syahadah menjadi jejak penting bahwa Muhammadiyah tidak berhenti dalam praktik dan kerja nyata, namun juga merekonstruksi wawasan keagamaan yang penting sebagai titik pijak kehidupan berbangsa dan bernegara setiap muslim di Indonesia. 

Pancasila Perspektif Muhammadiyah

Bagi Muhammadiyah, Pancasila selaras dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pancasila mencerminkan perpaduan yang harmonis antara etika moral kebangsaan dan keislaman. Pancasila sama sekali tidak berseberangan dengan nilai dan ajaran Islam.

Pancasila melalui lima silanya yakni: Ketuhanan yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dan Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memuat cita-cita ideal yang diperjuangkan Islam untuk menciptakan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Menurut Muhammadiyah, Pancasila secara substantif mengandung ciri keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran.

Pancasila dalam Muhammadiyah

Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia sejak awal mula diresmikan. Pada Muktamar ke-36 tahun 1965 di Bandung, Muhammadiyah mencanangkan upaya untuk menyusun konsep Sosial-Ekonomi Masyarakat Sosialis berdasarkan Pancasila yang diintegrasikan dengan ajaran Islam.

Dalam momen Muktamar ke-36 yang sama juga muncul wacana untuk mendesain Sistem Pendidikan Pancasila yang diselaraskan dengan rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Bahkan dalam putusan untuk bidang dakwah muncul rumusan berikut: “Dunia baru yang aman dan damai, bersih dari exploitation de nation par nation dan bebas memancarkan Nur Ilahi di muka bumi ini sesuai dengan filsafat Pancasila.”

Muhammadiyah bukan saja menerima Pancasila, melainkan juga berupaya mengintegrasikan nilai-nilai luhurnya ke dalam kegiatan dakwah dan pendidikan. Pada Muktamar ke-37, Pancasila masuk dalam kurikulum kursus Kemuhammadiyahan untuk para mubaligh.

Berikutnya pada Muktamar ke-40 tahun 1978, Khittah Muhammadiyah dalam bidang politik berpegang pada rumusan: “[..] Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoretis konsepsionis, secara operasionil dan secara konkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridhai Allah Swt. Dalam melaksanakan usaha itu Muhammadiyah tetap berpegang teguh kepada kepribadiannya.”

Lebih jauh lagi bahwa pada perubahan Anggaran Dasar (AD) tahun 1985 Bab II Pasal 2 tentang Asas, disebutkan bahwa Persyarikatan ini berasas Pancasila. Dengan penjelasan bahwa: “Muhammadiyah mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya, adalah dengan pengertian, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah keimanan kepada Allah Subhanahu wata’ala (Tauhid).”

Perspektif Islam Berkemajuan terhadap Pancasila

Dalam dokumen Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah,(PP Muhammadiyah, 2018) dirumuskan sepuluh butir tafsir Pancasila dalam pandangan Islam Berkemajuan yang sejalan dengan kepribadian Muhammadiyah.

Pertama, beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Kedua, memperbanyak kawan dan meningkatkan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah). Ketiga, memiliki pandangan luas dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat, bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.

Kelima, mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah. Keenam, melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan menjadi teladan yang baik. Ketujuh, aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam.

Kedelapan, bekerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam, serta membela kepentingannya. Kesembilan, membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara. Kesepuluh, bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.

Sepuluh butir tafsir Pancasila yang sejalan dengan Kepribadian Muhammadiyah adalah rumusan penting yang mengukuhkan dan mengikat para anggota Persyarikatan untuk memajukan dan berkontribusi pada kemajuan Indonesia. 

Ikuti kami

@pdmSukoharjo