Dialog Multikultural di UMS Bahas Jalan Tengah Atasi Kekerasan Palestina

Bagikan Juga Ke

SURAKARTA – Perang di Palestina yang tak kunjung usai menuntut upaya penanganan segera. Pendekatan nirkekerasan menjadi juru selamat terbaik untuk menjembatani Palestina dan Israel.

Dalam seminar internasional “Multicultural Dialogue, Palestine and The Muslim World” yang digelar di Ruang Sidang BPH Gedung Induk Siti Walidah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (14/12), pegiat Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) UMS sekaligus pendiri Palestine Peacebuilding Lab, Dra. Yayah Khisbiyah, M.A., mendorong pendekatan dialog multikultural dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Gaza, Palestina.

Pegiat PSBPS sekaligus Sekretaris Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu mengatakan, dialog multikultural bertujuan untuk melatih generasi muda Palestina agar mampu berdialog, bernegosiasi, dan melakukan mediasi dalam masa-masa konflik.

“Mengasah kemampuan dialog dan pendekatan nirkekerasan adalah kunci untuk menyiapkan pemuda Palestina agar siap membangun perdamaian atas dasar upaya internal mereka,” ungkapnya.

Indonesia selama ini terus mengupayakan pertolongan bagi rakyat Palestina. Yayah mengatakan pertolongan tersebut berupa bantuan kemanusiaan, yang meliputi sembako, obat-obatan, hingga mengirimkan tim medis. Tak cukup di situ, advokasi untuk kemerdekaan Palestina terus digaungkan.

Menurut Yayah, pendekatan dialogis nirkekerasan menjadi upaya Muhammadiyah untuk membangun kualitas manusia Palestina yang siap membina perdamaian. Jika perlawanan terhadap pendudukan Israel dilakukan dengan kekerasan, maka akan menghasilkan kekerasan baru yang tiada akhir.

“Saya kira Muhammadiyah menjadi yang terdepan untuk memberikan support bantuan kepada Palestina, bukan hanya bentuk-bentuk tradisional. Yang sekarang kita lakukan (red: dialog multikultural) ini kebaharuannya tinggi sekali,” lanjut Yayah.

Program seperti Palestine Peacebuilding Lab, lanjutnya, sangat jarang dijumpai di kawasan Asia, melainkan di wilayah Eropa.

“Program ini (red: multikultural dialog) belum banyak yang melakukan,” tegasnya saat dijumpai usai seminar.

Direktur Departemen Urusan Budaya Organisasi Organisasi Kerja Sama Islam, Dr. Lhoucine Rhazoui menjelaskan, perang yang berkecamuk di Palestina telah merambah pada pengaruh-pengaruh budaya. Dia memandang orang Yahudi di Israel mencoba mempengaruhi pandangan masyarakat dunia terhadap wilayah Palestina.

Menurutnya, pendekatan multikultural perlu didorong mengingat Palestina merupakan wilayah yang sarat akan ragam budaya dan etnik. Palestina merupakan tempat lahirnya peradaban manusia. Hal ini tidak lepas dari pengaruh tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi yang berkembang di wilayah tersebut.

“Inilah mengapa kita membutuhkan pendekatan multikultural. Untuk memperbaiki kesalahan persepsi antara ketiga agama samawi dalam memandang satu sama lain. Sehingga mereka dapat hidup dengan damai di tanah suci, Yerusalem dan Al Aqsa,” ujar Lhoucine.

Lhoucine memandang Indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana masyarakat dapat hidup harmoni. Keberagaman di Indonesia, lanjut dia, merupakan contoh yang sempurna untuk diterapkan di Palestina. Menciptakan perdamaian dan keharmonisan antara umat Islam, Nasrani, dan Yahudi.

“Indonesia adalah contoh yang sempurna bagaimana orang dari beragam latar belakang untuk hidup bersama dalam damai,” pungkasnya. (Gede/Humas)


Bagikan Juga Ke

Ikuti kami

@pdmSukoharjo