Husnul Fauziyah
Guru Pendidikan Pancasila di MA Al-Islam Surakarta
Pernahkah kita berdonasi hanya karena melihat story teman? Atau turut menekan tombol “berbagi” karena takut dianggap tak peduli? Di era digital, kebaikan bisa viral, tapi apakah itu berarti ia benar-benar tulus? Di era serba digital ini, kebaikan tak lagi harus dimulai dari panggung besar atau acara resmi. Perubahan sosial kini bisa dimulai dari tempat paling sederhana: layar ponsel. Cukup satu klik, satu swipe, atau unggahan story bertagar #PrayFor, pesan kepedulian menyebar ke ribuan bahkan jutaan orang dalam hitungan detik.
Filantropi, yang dulunya identik dengan lembaga besar, acara tahunan, atau sumbangan fisik di tempat ibadah, kini menjelma menjadi aksi yang lebih personal dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Menariknya, barisan terdepan dari fenomena ini adalah generasi muda: pelajar, mahasiswa, kreator konten, hingga para influencer dengan pengikut setianya.
Namun, di balik semaraknya donasi digital dan kampanye sosial daring yang ramai di linimasa, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari: benarkah ini lahir dari kesadaran sosial yang tulus? Ataukah hanya bagian dari tren digital atau pencitraan berbalut empati? Apakah ini gaya hidup baru, gerakan perubahan, atau sekadar gimmick sesaat yang akan pudar bersama viralnya?
Tulisan ini mengajak kita menelusuri lebih dalam: bagaimana wajah filantropi di tangan generasi muda hari ini? Apa makna, dampak, dan tantangan di baliknya? Sebuah upaya untuk melihat dengan jernih tanpa terburu sinis, tapi juga tak silau oleh euforia.
Pembahasan
Fenomena filantropi di kalangan generasi muda saat ini memang mencuri perhatian. Banyak yang bertanya: apakah ini bagian dari gaya hidup baru? Sebuah gerakan sosial yang benar-benar ingin menciptakan perubahan? Atau sekadar gimmick digital yang berumur pendek? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat lebih dalam bagaimana anak muda melakukan, menampilkan, dan memaknai aktivitas kebaikan yang mereka lakukan, khususnya di ruang digital.
Generasi muda tak hanya berbuat baik, mereka juga mendokumentasikannya dengan apik. Foto makanan yang dibagikan dengan caption “sedekah buat yang kurang mampu”, screenshot transfer donasi yang di-blur nominalnya, atau video saat menyerahkan bantuan.Ssemua dikemas dengan estetika yang menarik. Fenomena ini melahirkan praktik amal yang tak lagi sembunyi-sembunyi, tapi justru dipamerkan dengan bangga.
Di titik ini, muncul ruang tanya: apakah ekspresi filantropi yang begitu visual ini bagian dari ekspresi gaya hidup yang autentik? Atau justru sudah berubah menjadi ajang pencitraan yang lebih menonjolkan tampilan ketimbang nilai? Inilah dilema yang membuat kita perlu lebih jernih membedakan antara kebaikan yang muncul dari kesadaran, dan kebaikan yang sekadar ingin terlihat.
Bagi generasi yang tumbuh di era Instagram dan TikTok, mendokumentasikan kehidupan adalah hal biasa. Mereka terbiasa mengunggah aktivitas sehari-hari, termasuk ketika sedang melakukan aksi sosial. Tapi jangan salah, dampaknya nyata. Ketika satu orang membagikan aksi sosialnya, yang lain bisa ikut terdorong melakukan hal serupa. Kebaikan jadi menular, bahkan bisa viral. Dalam beberapa jam, kampanye kecil bisa berubah menjadi gerakan besar yang mengumpulkan ratusan juta rupiah.
Penelitian dari Bekkers dan Wiepking (2011) menyebutkan bahwa salah satu alasan utama orang mau berdonasi atau membantu sesama adalah karena pengaruh dari orang lain di sekitarnya. Jadi, saat seseorang membagikan aksi kebaikannya di media sosial, orang lain bisa ikut terdorong untuk melakukan hal serupa. Inilah mengapa di era digital, satu aksi kecil bisa menyebar cepat dan menginspirasi banyak orang.
Fenomena ini menandai bahwa filantropi telah mengalami pergeseran bentuk dan motivasi. Dulu, kebaikan mungkin dilakukan diam-diam. Sekarang, kebaikan bisa menjadi bagian dari personal branding. Maka, filantropi bagi generasi muda bisa menjadi gaya hidup yang selaras dengan nilai yang mereka tampilkan ke publik.
Namun, hal ini juga memunculkan tantangan. Ketika aksi kebaikan mulai dinilai dari seberapa banyak like, share, atau views, makna kedermawanan bisa menyempit. Media sosial bisa jadi katalis kebaikan, tapi juga bisa menjadi panggung narsisme sosial. Inilah mengapa, untuk menyebutnya sebagai gerakan sosial yang autentik, kita perlu melihat lebih jauh: apakah aksi itu membawa dampak nyata dan berkelanjutan, atau berhenti di visualisasi semata?
Motivasi anak muda dalam berfilantropi sebenarnya sangat beragam dan berkembang. Ada yang memulai dari sekadar ikut-ikutan, tapi kemudian tumbuh menjadi aktivis sosial yang committed. Ada juga yang memang dari awal sudah memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Prosesnya bisa dilihat sebagai perjalanan yang dimulai dari tahap partisipasi sosial, di mana seseorang ikut donasi atau membagikan konten karena teman-teman melakukannya, dengan motivasi utama tidak ingin ketinggalan atau dikucilkan dari komunitas.
Kristofferson (2014) menjelaskan adanya fenomena yang disebut virtue signaling, yaitu ketika seseorang menunjukkan sikap peduli sosial di depan umum, tapi sebenarnya hanya untuk terlihat baik di mata orang lain. Di media sosial, ini bisa terjadi saat orang membagikan isu atau kampanye, tapi tidak benar-benar terlibat atau memahami substansinya. Kebaikan bisa jadi hanya sekadar tampilan, dan inilah salah satu bentuk filantropi yang cenderung menjadi gimmick.
Kemudian berkembang ke tahap eksplorasi, di mana mereka mulai bertanya-tanya mengapa isu tertentu penting dan mencari tahu lebih dalam tentang masalah sosial yang ada. Setelah itu memasuki tahap komitmen, memilih isu yang sesuai dengan nilai pribadi dan mulai konsisten dalam mendukung perjuangan tertentu. Tahap berikutnya adalah aksi, di mana mereka tidak hanya berpartisipasi, tapi juga aktif mengajak dan mengedukasi orang lain, bahkan menginisiasi gerakan sendiri.
Menurut McLeod (2012), anak muda biasanya punya banyak alasan ketika terlibat dalam aksi sosial. Ada yang melakukannya karena ingin diakui, tapi ada juga yang memang benar-benar peduli. Hal ini sejalan dengan pandangan Adam Grant (2013), yang menyebut bahwa niat untuk berbuat baik bisa berawal dari keinginan ikut-ikutan, lalu tumbuh menjadi kesadaran yang lebih dalam karena pengalaman dan proses belajar.
Puncaknya adalah tahap transformasi, di mana mereka memahami akar masalah dan bekerja untuk perubahan struktural jangka panjang. Ini yang menandakan bahwa filantropi sebagai gerakan sosial telah hidup dalam diri mereka. Namun, tidak semua orang harus sampai tahap ini. Yang penting adalah adanya pertumbuhan kesadaran yang berkelanjutan, karena setiap tahap punya kontribusi tersendiri, baik sebagai gaya hidup, sebagai gerakan, ataupun sebagai gimmick awal yang bisa berkembang.
Kesimpulan
Jadi, filantropi generasi muda hari ini tidak bisa dilihat secara tunggal. Ia bisa menjadi gaya hidup, ketika berbuat baik menjadi bagian dari identitas diri dan rutinitas harian. Mulai dari pilihan belanja yang berdampak sosial, donasi digita, hingga keikutsertaan dalam komunitas berbagi. Ia juga bisa berkembang menjadi gerakan, ketika kepedulian berubah menjadi aksi nyata yang terorganisir, membawa dampak nyata, dan menyasar akar permasalahan sosial yang ada.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian praktik filantropi juga mengandung unsur gimmick, aksi-aksi yang lebih berorientasi pada tampilan dan pengakuan sosial, tanpa kedalaman makna atau komitmen jangka panjang. Fenomena ini memang nyata, tapi tidak selalu negatif. Banyak anak muda yang memulai dari tren, lalu tumbuh menjadi pribadi yang lebih sadar, peduli, dan terlibat secara aktif.
Yang membedakan bukan tampilannya, tapi niat dan keberlanjutan dari aksi itu sendiri. Apakah sekadar ikut-ikutan sesaat, atau menjadi titik awal kesadaran dan perubahan? Apakah berhenti pada estetika, atau tumbuh menjadi etika?
Filantropi generasi muda mencerminkan semangat zamannya: cepat, visual, kolaboratif, dan terbuka. Tantangannya bukan hanya soal keaslian niat, tapi juga bagaimana menyulut potensi besar ini menjadi kekuatan sosial yang konsisten dan berdampak luas.
Pada akhirnya, tak masalah dari mana seseorang memulai. Apakah itu dari gaya hidup, gerakan, atau bahkan gimmick. Yang terpenting adalah ke mana langkah itu menuju. Karena kadang, langkah kecil yang tampak remeh di linimasa bisa menjadi awal dari gerakan besar yang mengubah dunia nyata.
Referensi
Bekkers, R., & Wiepking, P. (2011). A literature review of empirical studies of philanthropy: Eight mechanisms that drive charitable giving. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 40(5), 924–973. https://doi.org/10.1177/0899764010380927
Grant, A. M. (2013). Give and Take: A Revolutionary Approach to Success. New York: Viking Press.
Kristofferson, K., White, K., & Peloza, J. (2014). The nature of slacktivism: How the social observability of an initial act of token support affects subsequent prosocial action. Journal of Consumer Research, 40(6), 1149–1166. https://doi.org/10.1086/674137
McLeod, J., Shah, D. V., & Lee, N. J. (2012). Communication and community: The role of mass communication and interpersonal discussion in civic and political participation. Journal of Communication, 52(4), 728–744. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.2002.tb02566.x