Oleh : Tegar S. Ahimza (MPI PWM Jawa Tengah, Copywriter Profesional)
Surakarta – Matahari Dzulqa’dah menyinari langit Madinah dengan sinar lembutnya. Di bawah langit yang damai itu, Nabi Muhammad ﷺ berdiri menatap sahabatnya tercinta, Mu’adz bin Jabal. Udara terasa berat. Seakan-akan angin pun enggan berembus, takut mengusik percakapan yang hanya bisa diartikan oleh hati-hati yang telah lama saling mencintai karena Allah.
“Wahai Mu’adz,” suara lembut itu terucap lirih, tetapi menembus jauh ke dalam jiwa. “Sesungguhnya engkau mungkin tidak akan bertemu lagi denganku setelah tahun ini. Atau mungkin saja engkau akan melewati masjid ini… dan kuburanku.”
Mu’adz terdiam. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu seperti kabut di pagi hari yang mengaburkan pandangan, namun jelas dalam maknanya: ini adalah perpisahan.
—
Bulan Dzulhijjah 10 H. Dari seluruh pelosok jazirah Arab, lebih dari seratus ribu kaum muslimin memadati kota suci Mekkah. Mereka datang bukan hanya untuk berhaji, tetapi untuk mengikuti jejak kaki manusia yang paling mereka cintai, yang paling mereka rindukan: Muhammad ﷺ.
Rasulullah ﷺ menempuh perjalanan itu dengan tenang. Ia adalah seorang kekasih yang hendak menyampaikan surat terakhirnya kepada umat yang selama ini ia cintai lebih dari dirinya sendiri. Setiap langkahnya adalah lambang kasih sayang; setiap ucapan dan geraknya adalah pelajaran yang akan dikenang sepanjang masa.
—
Hari Arafah. Langit biru membentang luas di atas padang yang putih oleh kain ihram. Di tengah padang itu, Rasulullah ﷺ berdiri, tubuhnya tegap, wajahnya bersinar. Lalu, beliau menyampaikan khutbah yang akan menjadi warisan abadi bagi umat manusia.
Dalam suara yang tenang namun penuh getaran cinta, beliau bersabda:
“Wahai manusia, dengarkanlah ucapanku ini. Mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini.”
Ucapan itu membelah udara seperti angin tajam. Banyak hati yang terhenti berdetak. Beberapa sahabat tak mampu menyembunyikan tangisnya. Ada yang memalingkan wajah, tak kuat menatap. Mereka tahu… saatnya telah dekat.
Dan di akhir khutbah, Rasulullah ﷺ mengangkat jarinya ke langit, lalu menunjuk ke arah manusia yang mencintainya dengan sepenuh jiwa:
> “Ya Allah, saksikanlah… Ya Allah, saksikanlah… Ya Allah, saksikanlah…”
Tiga kali. Sebuah penegasan cinta dan amanah. Bahwa beliau telah menyampaikan, telah menasihati, telah mencintai… sepenuh jiwa, sepenuh hidup.
Lalu turunlah ayat yang menggetarkan bumi dan langit:
> “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu…”
(QS. Al-Maidah: 3)
Ketika ayat itu dibacakan, Umar bin Khattab menangis. Bukan karena bahagia, tetapi karena dia tahu: Jika agama telah sempurna, maka tugas telah selesai. Jika tugas telah selesai, maka perpisahan itu… akan segera datang.
—
Beberapa bulan setelah itu, langit Madinah tak lagi seterang biasanya. Wajah Rasulullah ﷺ mulai tampak letih. Tubuh yang dulu memimpin barisan jihad kini sering terbaring lemah. Umat tahu, para sahabat tahu… dan mereka hanya bisa berdoa, memohon agar waktu bisa ditangguhkan.
Namun takdir Allah lebih bijaksana dari cinta manusia.
Dan pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriyah, fajar belum sempurna menyingsing, ketika bumi kehilangan cahaya terbesarnya. Muhammad ﷺ, sang kekasih, sang guru, sang pelita umat — telah berpulang.
Tangis pecah di seluruh Madinah. Abu Bakar jatuh bersimpuh. Umar nyaris kehilangan kesadaran. Bilal — muazin kesayangan Nabi — tak sanggup lagi mengumandangkan adzan. Saat ia sampai pada kata “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah,” suaranya pecah, dan Madinah pun ikut menangis bersamanya.
—
Haji Wada’ bukan sekadar peristiwa sejarah. Ia adalah pernyataan cinta terakhir dari manusia terbaik kepada umatnya. Ia adalah pelukan terakhir yang melingkupi kita semua — meski kita belum pernah melihat wajahnya.
Namun, melalui air mata dan keharuan itu, kita tahu: Beliau mencintai kita. Bahkan sebelum kita lahir. Bahkan hingga akhir hayatnya.
Dan kini, giliran kita…
Untuk mencintainya.
Meneladani jejaknya.
Menjaga warisannya.
Haji Wada’ bukan akhir. Ia adalah awal cinta yang tak pernah mati. (Ahimza)