Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Praktisi Pendidikan dan Penulis Buku Merawat Nalar Salim
Mukaddimah
Secara etimologi, kata “hijrah” dalam bahasa Arab (هاجر-يهاجر) berarti ‘meninggalkan’, ‘menjauhkan diri’, dan ‘berpindah tempat’. Dalam bahasa Indonesia, padanannya adalah “migrasi”, yang juga berarti perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Secara terminologi, hijrah mengacu pada perpindahan posisi geografis atau transisi kondisi eksistensial. Dalam Islam, konsep hijrah lebih spesifik merujuk pada migrasi sebagai langkah untuk menyelamatkan iman dari kondisi zalim ke kondisi yang lebih aman.
Hijrah tidak sekadar berarti pindah tempat secara fisik, melainkan juga mencakup perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik. Pada masa Nabi Muhammad SAW, hijrah dari Makkah ke Madinah merupakan upaya untuk menyelamatkan umat Islam dari penindasan dan ancaman, sekaligus membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis berdasarkan ajaran Islam. Hijrah ini menjadi simbol transformasi besar dalam sejarah Islam, menandai awal dari perubahan sosial, politik, dan spiritual yang signifikan.
Makna hijrah dalam konteks kontemporer juga relevan dengan berbagai aspek kehidupan. Hijrah bisa berarti meninggalkan kebiasaan buruk, beralih dari pekerjaan yang tidak halal ke yang lebih sesuai dengan syariat, atau berpindah dari lingkungan yang merusak ke lingkungan yang mendukung perkembangan iman dan akhlak. Dengan demikian, hijrah adalah proses berkelanjutan yang mengharuskan umat Islam untuk selalu berusaha memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Lebih dari sekadar perpindahan fisik, hijrah juga mengandung makna spiritual dan moral yang mendalam. Ini mencerminkan komitmen seseorang untuk meninggalkan segala bentuk kemungkaran dan dosa, serta berusaha keras menuju kebaikan dan ridha Allah. Oleh karena itu, hijrah bukan hanya sejarah masa lalu, tetapi juga konsep yang terus relevan dan menjadi inspirasi bagi setiap Muslim untuk selalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya dalam segala aspek.
Momentum Muharram
Momentum Muharram tiba, umat Islam di seluruh dunia merayakan tahun baru Islam dengan kebahagiaan dan rasa syukur. Namun, di balik perayaan seremonial ini, terdapat refleksi mendalam tentang sejarah dan spiritualitas. Muharram bukan hanya penanda awal tahun baru, tetapi juga mengenang peristiwa penting dalam sejarah Islam: Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Peristiwa ini lebih dari sekadar perpindahan fisik; ia adalah transformasi peradaban yang monumental. Di balik konsep hijrah ini, ada istilah penting yang sering kali terabaikan, yaitu “mahjar”.
Hijrah sering dimaknai sebagai perpindahan atau pelarian dari kondisi yang tidak kondusif menuju kondisi yang lebih baik. Namun, hijrah sejatinya tidak lengkap tanpa mahjar, yang berarti tujuan ideal yang ingin dicapai melalui proses hijrah. Tanpa mahjar, hijrah hanyalah pelarian tanpa arah yang jelas. Mahjar adalah tujuan strategis yang harus diwujudkan sebagai bagian dari misi peradaban Islam.
Nabi Muhammad SAW memberikan contoh nyata bagaimana hijrah harus dilakukan dengan mahjar sebagai tujuan utama. Beliau tidak hanya meninggalkan Makkah yang penuh penindasan, tetapi juga menyiapkan tempat yang akan menjadi pusat peradaban Islam. Madinah, yang sebelumnya dikenal sebagai Yatsrib, menjadi tempat di mana ajaran Islam diwujudkan secara nyata. Di sana, Nabi Muhammad SAW membina umat, mengembangkan masyarakat yang adil dan beradab, serta membentuk fondasi peradaban yang kuat.
Fenomena Hijrah Masa Kini: Antara Pelarian dan Transformasi
Sayangnya, konsep hijrah di era modern sering mengalami penyempitan makna. Banyak individu atau kelompok yang mengklaim melakukan hijrah, namun hanya sebatas perubahan pada level personal tanpa memberikan dampak signifikan pada level sosial atau peradaban. Misalnya, artis yang berhijrah mungkin berubah dalam penampilan dan perilaku ibadah, tetapi tidak berkontribusi dalam menciptakan model hiburan yang edukatif dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pengusaha yang hijrah mungkin meninggalkan praktik ekonomi yang tidak islami, tetapi tidak berusaha menciptakan sistem ekonomi alternatif yang berbasis syariah.
Fenomena ini mencerminkan hijrah yang lebih mirip pelarian daripada transformasi. Meskipun individu tersebut mungkin telah menyelamatkan dirinya secara personal, dalam konteks peradaban, hijrah tanpa mahjar adalah kekosongan yang tidak membawa perubahan signifikan.
Di era modern ini, umat Islam menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan mahjar sebagai tujuan strategis untuk diwujudkan. Pendidikan, sebagai pilar utama peradaban, harus ditingkatkan kualitasnya agar dapat mencetak generasi yang berilmu, berakhlak, dan mampu bersaing di kancah global. Selain itu, ketahanan keluarga juga sangat penting. Keluarga yang kuat dan harmonis akan menjadi fondasi bagi masyarakat yang kokoh. Namun, tuntutan modernitas sering kali mengguncang ketahanan keluarga, sehingga diperlukan upaya untuk memperkuatnya.
Ekonomi, teknologi, dan seni juga merupakan aspek penting dalam membangun peradaban yang berdaya saing. Umat Islam perlu menciptakan sistem ekonomi yang adil dan bebas dari riba, mengembangkan teknologi yang bermanfaat, dan menghasilkan karya seni yang mendidik serta mencerminkan nilai-nilai Islam. Terakhir, pusat riset menjadi kunci kemajuan peradaban. Sayangnya, kesadaran akan pentingnya riset masih lemah di kalangan umat Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan pusat-pusat riset yang fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu membantah tudingan radikalisme dengan data dan penelitian yang akurat.
Dengan menginternalisasi semangat hijrah dan mahjar, umat Islam dapat menghadapi tantangan-tantangan ini dan mewujudkan tujuan-tujuan strategis yang akan membawa kebaikan bagi umat dan peradaban Islam secara keseluruhan.
Menginternalisasi Semangat Hijrah dan Mahjar
Kajian tentang hijrah dan mahjar mengajak kita untuk mereorientasi pandangan kita mengenai hijrah. Hijrah tidak sekadar meninggalkan sesuatu yang buruk, tetapi harus disertai dengan niat yang benar dan usaha keras untuk mewujudkan mahjar yang diimpikan. Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan dengan mewujudkan perubahan besar di Madinah setelah hijrah. Dalam konteks hari ini, umat Islam harus memiliki visi yang jelas dan berupaya keras untuk mewujudkan mahjar dalam berbagai aspek kehidupan.
Menyambut tahun baru Islam Muharram 1446 H, marilah kita renungkan makna hijrah dan mahjar dalam kehidupan kita. Semoga semangat hijrah yang sejati menginspirasi kita untuk terus bergerak menuju tujuan-tujuan mulia yang akan membawa kebaikan bagi umat dan peradaban Islam secara keseluruhan.
Sumber:
- Anton Ismunanto, Artikel “Mahjar: Bukan Sekadar Hijrah”, link: https://insists.id/mahjar-bukan-sekadar-hijrah/
- Hakim, L. (2024). Dinamika Hijrah di Indonesia: Dari Transformasi Spiritual Menuju Gerakan Sosial. Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI), 5(1), 13-33. https://doi.org/10.22373/jsai.v5i1.3993