Menguatkan Benteng Ideologi Muhammadiyah

Muhammad Nasri Dini

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Sukoharjo

Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam terbesar dan tertua yang masih terus eksis menebar manfaat tidak saja untuk umat Islam saja, tapi juga umumnya masyarakat di negeri ini. Persyarikatan ini bahkan tidak hanya tumbuh dan berkembang di nusantara saja, tetapi dakwahnya juga sudah merambah dan meluas ke dunia Internasional. Hingga saat ini sudah ada puluhan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang tersebar bahkan merata di semua benua. Salah satu kekhasan persyarikatan ini adalah dapat menghadirkan berbagai macam bentuk amal usaha. Bidang garap Muhammadiyah sangat lengkap, mulai dari masalah pendidikan, dakwah dan keagamaan hingga masalah kesehatan dan sosial ekonomi. Hal ini merupakan warisan besar dari KH. Ahmad Dahlan, di mana beliau tidak hanya berhenti dalam wacana dan kajian saja, tapi juga dalam aksi dan gerak nyata pada amalan keseharian. Inilah yang menjadi salah satu hal menonjol dari karakteristik gerakan Muhammadiyah.

Dari segi ideologi, Muhammadiyah lengkap mempunyai banyak teks resmi berkenaan dengannya. Mulai dari Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM), Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Selain itu ada pula berbagai macam khittah Muhammadiyah, mulai dari Langkah 12 Muhammadiyah hingga yang terbaru Khittah Denpasar. Dari segi pandangan keagamaan, identitas Muhammadiyah bisa dibaca di antaranya dari Himpunan Putusan Tarjih, Fatwa-fatwa Majelis Tarjih, dan yang lainnya. Artinya Muhammadiyah sebenarnya sudah mempunyai instrumen yang teramat lengkap untuk menjadi pandangan, juga panduan dan pedoman bagi warganya, utamanya para pimpinan persyarikatan yang menjadi teladan bagi warga Muhammadiyah awam.

Namun memasuki tahun muktamar ini Muhammadiyah tampaknya masih menghadapi berbagai permasalahan komplek, baik yang muncul dari internal, maupun juga eksternal. Salah satunya di antaranya, meskipun saat ini perkembangan pesantren Muhammadiyah bisa dibilang sangat menggembirakan, setidaknya ada lebih dari 400 pesantren Muhammadiyah (dan masih terus bertambah) dengan puluhan ribu santri yang tersebar di seluluh penjuru tanah air. Tapi hingga kini masih jamak kita jumpai pimpinan ranting dan cabang yang merasa kesulitan untuk mencari ustadz dari intern persyarikatan saat akan mengadakan pengajian di masjid/mushalanya. Padahal diakui atau tidak ranting dan cabang adalah pondasi dari basis inti gerakan Muhammadiyah. Akibatnya mau tidak mau ranting dan cabang pun dengan terpaksa atau sukarela menggunakan atau mengundang ustadz dari luar Muhammadiyah. Selanjutnya pasti sudah dapat ditebak, terkadang (untuk tidak mengatakan sering) ada pula dari ustadz luar persyarikatan tersebut yang justru memasukkan pandangan agama yang berbeda dengan pandangan keagamaan dari Tarjih Muhammadiyah.

Tidak hanya terjadi di ranting dan cabang saja, sampai saat ini juga masih akan kita temukan pengajar di sekolah, madrasah dan pesantren Muhammadiyah akan tetapi pandangan keagamaannya berbeda (ada pula yang bertentangan) dengan Muhammadiyah. Di tempat kami (PCM Blimbing Daerah Sukoharjo) yang dikenal luas oleh warga dan pimpinan Muhammadiyah dari berbagai penjuru sebagai PCM unggulan saja (bahkan pernah beberapa kali meraih nominasi PCM unggulan dari LPCR PP Muhammadiyah), problem ini juga masih terjadi. Meskipun tidak banyak, tapi ada dari para pengelola amal usaha Muhammadiyah (AUM) pendidikan yang bukan warga Muhammadiyah bahkan justru menjadi anggota/pengurus fanatik ormas Islam lain.

Menyaksikan hal ini tentu para pimpinan Muhammadiyah dari berbagai tingkatnya tidak boleh terlena dengan kebesaran dirinya. Muhammadiyah harus dengan penuh rasa kesadaran menata kembali rumah tangganya. Tidak semata-mata menyalahkan orang lain yang masuk ke dalam rumah kita. Karena jika ada kotoran yang mengganggu pemandangan di rumah kita, kita sebagai tuan rumah lah yang wajib untuk membersihkannya. Jika ada benalu yang menempel pada pohon di kebun kita, maka kewajiban kita untuk memotongnya agar tidak semakin merusak pohon di kebun kita. Apalagi jika sampai ada orang lain yang masuk ke rumah kita dan kemudian dengan semena-mena melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, maka kewajiban kita sebagai tuan rumah lah yang harus bertindak tegas, misalnya dengan mengusir orang tersebut, selanjutnya mengunci pintu rumah kita rapat-rapat agar dia tidak pernah kembali masuk lagi.

Dua di antara kekuatan Muhammadiyah untuk membangun dan menguatkan ideologinya sebenarnya terletak pada pengajian/kajian dan AUM pendidikan. Karena dengan dua hal tersebut Muhammadiyah dapat membangun kedekatan dan menanamkan ideologinya kepada umat. Masjid/mushala, jamaah pengajian, AUM pendidikan dan kegiatan keagamaan harus direvitalisasi kembali oleh para pimpinan di Persyarikatan agar umat benar-benar tercerahkan. Dengan membangun pondasi ideologi yang kuat maka umat, utamanya warga Muhammadiyah di akar rumput tidak mudah goyah jika ada ajaran atau pandangan keagamaan lain yang mencoba menyelinap bahkan menggerogoti eksistensi pandangan keagamaan yang dimiliki oleh Muhammadiyah, utamanya pandangan keagamaan resmi yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih.

Benteng Ideologi

Setidaknya ada beberapa jalan yang bisa ditempuh untuk menguatkan kembali benteng ideologi persyarikatan agar ia senantiasa kokoh berdiri. Di antaranya adalah:

Pertama, Penguatan Ideologi Pengelola AUM Pendidikan. Kenapa penulis hanya membatasi pada AUM pendidikan saja? Karena dialah yang mempunyai tugas utama untuk mentransfer secara langsung ideologi, manhaj, dan pandangan Muhammadiyah, baik berkaitan dengan agama atau yang lainnya. Jika ideologi para pengelola AUM pendidikan saja rapuh, bagaimana pula dengan warga AUM tersebut. Maka pimpinan dan pengelola yang memegang kendali utama di AUM pendidikan ini wajib hukumnya untuk senantiasa menjaga komitmen kemuhammadiyahan mereka.

Tentu yang dimaksud dengan pengelola di sini tidak hanya pimpinan AUM saja, entah kepala sekolah/madrasah atau direktur/pengasuh pesantren. Tetapi juga pimpinan persyarikatan yang berada di atasnya, dalam hal ini Majelis Dikdasmen atau LP2M. Karena yang berwenang mengangkat pimpinan AUM adalah mereka. Jangan sampai para pimpinan AUM tersebut dipilih semata-mata karena memiliki hubungan dekat secara personal dengan pimpinan persyarikatan. Pemilihan pimpinan AUM harus benar-benar diseleksi dengan ketat yang seratus persen Muhammadiyah, jangan yang setengah-setengah. Warga Muhammadiyah yang ditunjuk juga harus meluruskan kembali niat saat memimpin AUM. Jangan sampai hanya numpang cari makan saja di AUM, tapi ternyata justru menyebarkan ideologi lain di dalamnya.

Selain itu para pimpinan AUM terpilih juga harus selektif saat akan melakukan rekrutmen guru/ustadz dan karyawan/pegawai. Idealnya pegawai di AUM adalah warga Muhammadiyah, tidak semata professional saja di bidangnya. Kalaupun terpaksa tidak ada warga Muhammadiyah yang dapat mengisi formasi tersebut, dan diisi oleh orang di luar Muhammadiyah, maka harus ada kontrak hitam di atas putih bahwa dirinya nanti mau untuk aktif di persyarikatan saat sudah diterima. Setelah menjadi pegawai di AUM, wajib hukumnya mendukung dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Baik pengajian maupun kegiatan yang lain. Pimpinan AUM juga tidak boleh melupakan adanya pembinaan intensif kepada pengawainya agar mereka senantiasa berada di rel yang seharusnya. Tidak bertentangan dengan keputusan resmi Muhammadiyah di semua tingkatan.

Kedua, Penguatan Tradisi Pengajian dan Kajian Keislaman. Ketua PP Muhammadiyah (1968-1990) Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin (Pak AR) suatu saat pernah berpesan bahwa, “Pengajian adalah ruh-nya Muhammadiyah. Tanpa Pengajian, Muhammadiyah ibarat jasad yang sudah tidak bernyawa”. Ujung tombak terlaksananya poin ini adalah Majelis Tabligh, juga Pengurus Takmir masjid/mushala Muhammadiyah. Jangan sampai pengajian yang secara kelembagaan diselenggarakan oleh pimpinan Muhammadiyah tapi konten yang disajikan di dalamnya justru menyebarkan hal yang bertentangan dengan pandangan Muhammadiyah. Para pengelola pengajian juga harus bisa mengklasifikasi jenis-jenis pengajian dan kajian yang sesuai dengan mustami’/audien. Mana yang cocok untuk para orang tua, mana pula yang cocok untuk anak-anak muda, termasuk yang khusus untuk ibu-ibu atau muslimah. Semua harus bisa disesuaikan dan diakomodir, entah materinya, entah pengisinya, entah metodenya.

Para pengurus persyarikatan penting juga untuk mengkader ulama di daerahnya masing-masing. Jika setiap ranting/cabang misalnya mau membiayai satu saja kadernya untuk mendalami ilmu agama di pesantren Muhammadiyah, kemudian menimba ilmu di perguruan tinggi dengan jurusan keagamaan, maka kebutuhan ulama di ranting tersebut tentu akan terpenuhi. Karena tidak dapat dipungkiri salah satu masalah yang dihadapi Muhammadiyah adalah kurangnya ulama di akar rumput. Sehingga hal inilah yang otomatis menjadi kelemahan persyarikatan dan menjadi celah bagi pihak luar untuk masuk ke pengajian-pengajian Muhammadiyah.

Selain terpenuhinya instrumen pengisi, juga harus dipenuhi instrumen konten kajiannya. Para pengelola pengajian Muhammadiyah wajib hukumnya mempunyai buku-buku rujukan utama yang dimiliki persyarikatan, di antaranya adalah Himpunan Putusan Tarjih. Kajian ‘kitab kuning’ juga harus dibudayakan diadakan di pengajian-pengajian Muhammadiyah oleh para ustadz dari intern Muhammadiyah. Agar warga Muhammadiyah awam tidak terpesona dan berubah haluan jika ada ustadz dari luar persyarikatan yang mengkaji kitab-kitab kuning. Karena yang membuat terpesona para jamaah di ranting/cabang kepada ustadz dari luar persyarikatan di antaranya adalah penguasaan mereka terhadap materi-materi keislaman utamanya yang berbahasa arab. Kajian yang diadakan pun biasanya langsung menggunakan kitab-kitab kuning sebagai referensinya. Wallahul musta’an

*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Tabligh edisi Spesial Muktamar – No. 11/XX | Rabiul Akhir 1444 H / November 2022 M

Ikuti kami

@pdmSukoharjo