Selama ini kita mengenal Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Namun, Al-Qur’an juga disebut sebagai Asy-Syifā’ yaitu penyembuh. Kesembuhan yang dimaksud bukan hanya untuk penyakit hati dan masalah batin manusia, tetapi juga sebagai petunjuk yang dapat memperbaiki hubungan manusia dengan alam. Di tengah krisis lingkungan yang makin sering kita alami, khususnya banjir berulang di wilayah Sumatra, konsep Asy-Syifā’ ini menjadi sangat penting untuk direnungkan.
Dalam beberapa ayat, seperti Q.S. Al-Isra’:82 :
vوَ نُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ ۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا
Artinya: “”Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an membawa penyembuhan bagi hati, jiwa, dan kehidupan manusia. Tetapi jika kita mendalaminya, nilai-nilai dalam Al-Qur’an juga mampu “menyembuhkan” alam. Ketika hati dibenahi dan akhlak diperbaiki, maka cara manusia memperlakukan bumi pun ikut berubah.
Kerusakan lingkungan sesungguhnya adalah cerminan dari kerusakan moral. Jika manusia kembali pada nilai-nilai Al-Qur’an serta tidak berlebihan, menjaga amanah, serta hidup seimbang, maka alam pun akan kembali pulih.
Pesan Larangan Merusak Bumi
Allah berfirman dalam Surah Al-A‘rāf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِی الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ؕ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِیْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِیْنَ ۟
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Ayat ini menegaskan bahwa bumi diciptakan dalam keadaan seimbang dan baik. Hutan, gunung, sungai, dan udara bekerja dalam harmoni. Manusia diberi amanah untuk menjaga dan merawatnya. Ketika amanah ini diabaikan, ketidakseimbangan pun muncul dan dampaknya kembali kepada manusia sendiri.
Situasi lingkungan Indonesia hari ini sangat berkaitan dengan ayat tersebut. Banjir, kabut asap, longsor, dan kekeringan bukan datang tanpa sebab. Sebagian besar adalah akibat ulah manusia yang merusak hutan, mengeksploitasi alam tanpa aturan, dan mengabaikan keseimbangan ekologis.
Banjir Sumatra: Bukan Sekadar Musibah Alam
Sumatra menjadi salah satu wilayah yang paling sering dilanda banjir dalam beberapa tahun terakhir. Hujan deras memang menjadi pemicu. Namun penyebab utamanya bukan cuaca, melainkan kerusakan lingkungan.
Banyak hutan di Sumatra mengalami penebangan besar-besaran untuk kepentingan perkebunan dan tambang. Padahal pepohonan berperan penting menyerap air hujan. Ketika hutan hilang, tanah tidak lagi mampu menyimpan air. Akibatnya, saat hujan turun, air mengalir begitu saja ke sungai dan permukiman dalam jumlah besar dan banjir pun terjadi.
Kerusakan alam ini memperlihatkan bahwa manusia telah menjauh dari prinsip yang diajarkan Al-Qur’an. Untuk itu, sudah saatnya kita kembali menjadikan Al-Qur’an sebagai Asy-Syifā’—panduan yang menyembuhkan manusia sekaligus memulihkan bumi.
Belum lagi masalah tanah yang longsor karena tidak lagi ditahan akar pepohonan akhirnya menumpuk di dasar sungai. Sungai menjadi dangkal dan tidak mampu menampung debit air yang besar. Saat musim hujan tiba, sungai pun mudah meluap dan menyebabkan banjir.
Dalam perspektif Al-Qur’an, kerusakan seperti ini terjadi karena manusia meninggalkan nilai-nilai amanah. Mereka memperlakukan bumi hanya sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai titipan yang harus dijaga. Banjir yang terjadi seolah menjadi “peringatan alam” bahwa ada keseimbangan yang telah dilanggar.
Asy-Syifā’ bagi Alam: Ketika Al-Qur’an Menjadi Pedoman Ekologis
Konsep Asy-Syifā’ sebenarnya mengarahkan manusia untuk memulihkan hubungan dengan alam. Al-Qur’an membawa prinsip-prinsip yang jika diterapkan, mampu memperbaiki kerusakan lingkungan secara bertahap. Beberapa di antaranya meliputi:
Menjaga keseimbangan (mizan)
Alam bekerja berdasarkan keseimbangan. Jika manusia melampaui batas, keseimbangan ini terganggu dan bencana menjadi konsekuensi alami.
Tidak berlebih-lebihan (israf)
Eksploitasi sumber daya alam tanpa batas akan merusak ekosistem. Al-Qur’an menekankan pentingnya hidup moderat dan tidak boros.
Menjaga amanah sebagai khalifah
Manusia diberi peran sebagai penjaga bumi, bukan perusak. Ketika peran ini dilupakan, maka bumi pun ikut “sakit”.
Menghargai ciptaan Allah
Alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Merusaknya berarti mengabaikan ayat-ayat kauniyah yang juga menunjukkan kemahakuasaan-Nya.
Jika nilai-nilai ini dihidupkan kembali, maka upaya penyembuhan alam bukan hanya berbentuk teknis seperti reboisasi atau normalisasi sungai, tetapi juga berupa perubahan perilaku. Penyembuhan alam harus dimulai dari penyembuhan hati, dan di sinilah letak mukjizat Al-Qur’an sebagai Asy-Syifā’.
Refleksi: Mengembalikan Harmoni Manusia dan Alam
Krisis lingkungan yang terjadi hari ini menuntut refleksi mendalam. Banjir di Sumatra bukan hanya persoalan curah hujan, tetapi juga persoalan bagaimana manusia memperlakukan bumi selama puluhan tahun. Ketika manusia hidup tanpa etika, alam pun memberikan responsnya.
Di sinilah Al-Qur’an hadir memberikan solusi yang bersifat menyeluruh. Tidak hanya memberikan petunjuk teknis, tetapi juga membangun kesadaran moral bahwa bumi adalah amanah. Mukjizat Asy-Syifā’ bekerja melalui penyembuhan cara pandang manusia. Jika manusia menyadari posisi mereka sebagai penjaga, bukan penguasa alam, maka kerusakan lingkungan dapat diminimalkan dan keseimbangan bisa dipulihkan.
Penutup
Al-Qur’an sebagai Asy-Syifā’ bukan hanya menyembuhkan hati manusia, tetapi juga menyembuhkan bumi melalui nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya. Banjir yang terjadi di Sumatra menjadi cermin bahwa perintah menjaga bumi telah lama diabaikan. Dengan mengembalikan prinsip-prinsip Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat memperbaiki hubungannya dengan alam. Ketika perilaku manusia berubah, alam pun akan kembali menemukan keseimbangannya. Inilah esensi mukjizat Al-Qur’an sebagai penyembuh bagi manusia dan semesta.
Referensi
Delsi Amelia Putri, Hanifah Azzahra, Muhammad Zulvin Melaban & Edi Hermanto, “Tafsir Ekologis: Membaca Ayat-Ayat Alam Sebagai Etika Konservasi dalam Krisis Iklim Global,” Al-Furqan: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, Vol. 4, No. 3 (Mei 2025).
Ahmad Suhendra, “Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an,” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 14, No. 1 (April 2013), hlm. 61–82.
Riddo Andini, Konservasi Lingkungan Berbasis Ekologi Integral Perspektif Al-Qur’an, Disertasi, Institut PTIQ Jakarta (2022).
Sri Mutiara, “Urgensi Pendidikan Islam dan Kesadaran Ekologis: Menumbuhkan Kepedulian Lingkungan melalui Nilai-Nilai Al-Qur’an,” UNISAN JURNAL, Vol. 4, No. 3 (2025), hlm. 30–40.
Faisol Nasar bin Madi & Moh. Barmawi, “Ayat-Ayat Spiritual Ekologi (Eco-Spirituality) dan Kontribusinya pada Lingkungan Rawan Bencana Banjir (Studi Living Al-Qur’an),” ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 8, No. 2 (Desember 2022), hlm. 233–251.
(Artikel dari Al-Madrasah: Jurnal Ilmiah Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah — link kamu berikan dua kali) “Ekologi dalam Al-Quran dan Hadis: Implikasinya terhadap Kurikulum Pendidikan Islam,” Al-Madrasah, Article ID 4822.
“Ekologi dan Kerusakan Lingkungan dalam Persepektif Al-Qur’an,” Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Article ID 246.b
BIOGRAFI
Yulia Alya Putri mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Suska Riau. Selain fokus pada studi, sy aktif mengikuti berbagai organisasi kampus yang membantu mengembangkan kemampuan komunikasi, kerja sama tim, dan kepemimpinan. Keaktifan tersebut memberikan pengalaman berharga yang menunjang proses akademik maupun pengembangan diri secara personal.