Personal Branding Orang yang Bertakwa menurut QS Ali Imran: 134

Bagikan Juga Ke

Oleh: Dimas Sanjaya ( Guru MTs Muhammadiyah Blimbing Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo )

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ۝١٣٤
(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Q.S Ali Imron 134

Di era modern, istilah personal branding kerap dikaitkan dengan pencitraan diri. Bagaimana seseorang menampilkan citra terbaiknya di hadapan publik, terutama di media sosial. Namun, Al-Qur’an jauh lebih awal telah menawarkan konsep personal branding yang tidak hanya indah di mata manusia, tetapi juga mulia di sisi Allah S WT. Dalam QS Ali Imran ayat 134, Allah menggambarkan karakter orang-orang bertakwa yang layak menjadi panutan: mereka yang dermawan, mampu mengendalikan amarah, dan pemaaf. Tiga karakter inilah yang menjadi landasan utama branding sejati seorang hamba Allah.

Pertama, mereka adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya di waktu lapang maupun sempit (الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ). Dalam realitas kehidupan, memberi saat berkecukupan adalah hal yang wajar dan mudah dilakukan. Namun, memberi saat diri sendiri berada dalam kondisi kekurangan menunjukkan tingkat keikhlasan yang lebih tinggi. Orang bertakwa tak menunggu memiliki banyak untuk berbagi, karena yang mereka infakkan bukan semata-mata harta, tetapi semangat berbagi, empati, dan kepedulian sosial. Yunfiqun bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi refleksi hati yang lapang. Dalam dunia yang serba perhitungan ini, mereka tetap hadir sebagai sosok yang terus memberi tanpa pamrih.

Kedua, karakter orang bertakwa adalah mereka yang mampu menahan amarahnya (وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ). Marah adalah fitrah manusia, tetapi yang mulia adalah mereka yang mampu mengendalikannya. Dalam kondisi emosi memuncak, banyak orang memilih untuk meledak, membalas, atau melukai. Namun, orang yang bertakwa memilih jalan sebaliknya: ia menahan, menunda reaksi, dan merenung. Ia tahu bahwa ledakan emosi bisa menghancurkan relasi dan melukai jiwa, maka ia bersabar dan bersikap dewasa.

Ketiga, orang bertakwa adalah mereka yang memaafkan kesalahan orang lain (وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ). Memaafkan bukan perkara mudah, terlebih jika luka itu datang dari orang terdekat: pasangan, anak, atau sahabat. Rasa sakit sering kali terlalu berat untuk sekadar dilupakan. Namun, orang bertakwa memilih memaafkan bukan karena mereka tak merasa sakit, tapi karena mereka tahu bahwa membalas sakit hati dengan dendam hanya akan merusak jiwa sendiri. Meski demikian, memaafkan bukan berarti membiarkan. Dalam ruang keluarga, pendidikan tetap harus diberikan. Ketika pasangan atau anak menyakiti hati, perlu ada tarbiyah—pendidikan akhlak, diskusi hati ke hati, agar nilai-nilai ketakwaan tetap terjaga. Karena keluarga bukan tempat untuk membalas, tapi ruang untuk saling mendidik dan menguatkan.
Esensi dari semua ini bukanlah sekadar soal materi atau hubungan antar manusia semata. Hal yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menginfakkan dirinya—menjadi pribadi yang terus memberi: memberi harta, memberi kesabaran, memberi maaf, dan memberi ruang untuk perbaikan. Inilah yang dimaksud dengan yunfiqun, bukan sekadar derma dalam bentuk rupiah, tapi kedermawanan jiwa.

Pada akhirnya, personal branding terbaik bukanlah yang dipoles demi sanjungan manusia, tetapi yang tumbuh dari keikhlasan untuk hidup dalam keridhaan Allah. Orang bertakwa akan selalu dikenal bukan karena penampilan luar, tetapi karena ketulusan hatinya yang terpancar dalam sikapnya.


Bagikan Juga Ke

Ikuti kami

@pdmSukoharjo