Malang, Jawa Timur – Malam itu, di sebuah warung makan khas Lamongan, saya memesan segelas kopi pahit. Bukan sekadar untuk menemani makan malam, melainkan juga sebagai bagian dari komitmen saya mengurangi asupan gula selama beberapa bulan terakhir. Namun, apa yang terjadi kemudian justru menjadi renungan panjang tentang makna kejujuran dalam hal-hal kecil—yang ternyata tidak selalu sederhana.
Kopi yang Tidak Sesuai Pesanan
Ketika pramusaji menghidangkan kopi, saya langsung mencicipinya. Alih-alih menemukan rasa pahit yang saya harapkan, lidah saya justru disergap oleh manisnya gula yang dominan.
“Mas, ini kok manis? Saya pesan kopi pahit,” protes saya.
Dengan wajah datar, si pramusaji membantah, “Itu kopi pahit, Pak. Kami tidak menambahkan gula.”
Saya mencoba lagi, memastikan apakah lidah saya yang bermasalah. Tapi tidak, rasa manis itu nyata. Sebelum saya melanjutkan debat, istri saya menyentuh bahu saya—isyarat halus untuk berhenti. Daripada berlarut-larut, saya memilih mengalah.
Kebenaran yang Terungkap di Belakang Layar
Di dalam mobil, saya masih memikirkan kopi itu. “Itu pasti bukan kopi pahit,” gerutu saya.
Istri saya kemudian mengungkapkan, “Aku lihat tadi yang buat kopinya bukan masnya, tapi ibunya di belakang. Dan dia memegang gula.”
Seketika, saya ingin berbalik dan menuntut kejelasan. Namun, istri kembali mengingatkan, “Orang yang mengalah bukan berarti kalah. Kalau kamu benar, biarkan itu menjadi catatan baik untukmu. Mereka yang tidak jujur, biarlah itu menjadi tanggung jawab mereka sendiri.”
Refleksi: Kejujuran dalam Hal Kecil
Dari secangkir kopi yang salah, saya belajar bahwa:
1. Kejujuran adalah fondasi. Sekecil apa pun, ketidakjujuran merusak kepercayaan.
2. Mengalah bukan kekalahan. Ada kebesaran hati dalam memilih tidak memperpanas konflik, meski kita benar.
3. Amanah dalam pelayanan. Jika kopi saja bisa tidak sesuai pesanan, bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar?
Saya mungkin tidak mendapatkan kopi pahit yang diinginkan, tetapi saya pulang membawa sesuatu yang lebih berharga: pelajaran tentang integritas. Kafein tetap memberi saya energi untuk perjalanan pulang ke Solo, meski dengan tambahan gula yang tidak direncanakan.
Analoginya: Jika Ini Bukan Sekadar Kopi
Bayangkan jika “gula” dalam cerita ini adalah jabatan, kekuasaan, atau proyek besar. Apakah kita rela mengorbankan prinsip hanya demi sesuatu yang manis di lidah, tetapi tidak esensial?
Seperti kata istri saya, “Kebenaran tidak selalu harus dimenangkan dengan berdebat. Kadang, ia menang justru ketika kita memilih untuk tidak terlibat.”
Mungkin lain kali, saya akan lebih tegas memastikan pesanan saya. Tapi malam itu, secangkir kopi manis mengajarkan saya bahwa hidup tidak selalu hitam-putih—atau pahit-manis—seperti yang kita bayangkan.
#RefleksiHidup
#Kejujuran
#KopiDanKebenaran
(Tegar S. Ahimza – Penulis dan pengamat budaya konsumsi, Kader Digital MPI PWM Jateng)