Amtsal Ajhar
PK IMM Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran
Pendahuluan
Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern yang dipenuhi individualisme dan materialisme, manusia seringkali kehilangan esensi sejatinya sebagai makhluk sosial yang saling bergantung. Zakat, sebagai pilar kelima dalam Islam, bukan semata-mata ritual keagamaan yang kaku, melainkan manifestasi filosofis dari kesadaran kosmik tentang keseimbangan universal (Al-Qaradawi, 2000). Ia adalah jembatan yang menghubungkan dimensi spiritual dan material, antara kehendak ilahi dan realitas sosial yang kompleks.
Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) hadir sebagai penjelmaan nyata dari idealisme kemanusiaan yang berakar pada nilai-nilai transendensi. Melalui pendekatan yang holistik dan filosofis, Lazismu tidak hanya mengelola harta, tetapi juga membangun peradaban yang berkeadilan melalui transformasi kesadaran kolektif (Beik, 2019).
Hakikat Kepemilikan dalam Perspektif Eksistensial
Secara ontologis, zakat mengandung pertanyaan fundamental tentang hakikat kepemilikan dan hubungan manusia dengan realitas materi. Dalam pandangan filosofis Islam, harta bukanlah entitas yang terpisah dari dimensi spiritual, melainkan amanah yang mengandung tanggung jawab moral dan etis (Chapra, 2008). Konsep ini menggugat paradigma kapitalistik yang memandang harta sebagai hak mutlak individu.
Filosof Muslim klasik seperti Al-Ghazali memandang zakat sebagai proses purifikasi jiwa (tazkiyah) yang melibatkan transformasi kesadaran dari ego individual menuju kesadaran universal (Al-Ghazali, 1995). Ketika seseorang mengeluarkan zakat, ia tidak hanya memberikan sebagian hartanya, tetapi juga melakukan transendensi terhadap keserakahan dan materialisme yang mengungkung jiwa.
Data empiris menunjukkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai 327,6 triliun rupiah per tahun (BAZNAS, 2023). Namun, angka ini bukan sekadar statistik ekonomi, melainkan refleksi dari potensi transformasi sosial yang luar biasa. Setiap rupiah yang dikeluarkan dalam zakat mengandung energi spiritual yang mampu mengubah struktur sosial dari paradigma eksploitatif menuju paradigma distributif yang berkeadilan.
Menuju Pengetahuan yang Membebaskan
Lazismu telah mengembangkan epistemologi pemberdayaan yang melampaui pendekatan karitatif konvensional. Melalui praxis yang dialektis, Lazismu tidak hanya memberikan bantuan material, tetapi juga membangun kesadaran kritis masyarakat tentang potensi diri dan lingkungannya (Freire, 1970). Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan, di mana proses pemberdayaan melibatkan transformasi kesadaran dari kultur bisu menuju kultur kritis.
Program-program Lazismu seperti pemberdayaan ekonomi keluarga dan pendidikan tidak dapat dipahami secara parsial, melainkan sebagai bagian dari sistem holistik yang bertujuan menciptakan manusia yang utuh. Manusia yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan material, tetapi juga mengembangkan potensi spiritual dan intelektualnya untuk berkontribusi pada kebaikan bersama (Nasr, 2006).
Memahami Realitas Sosial yang Kompleks
Kemiskinan, dalam perspektif fenomenologis, bukan sekadar ketiadaan materi, melainkan pengalaman eksistensial yang kompleks yang melibatkan dimensi psikologis, sosial, dan spiritual (Schutz, 1967). Edmund Husserl menekankan pentingnya memahami fenomena dari perspektif subjek yang mengalaminya, bukan dari sudut pandang objektif yang terpisah (Husserl, 1913).
Lazismu mengadopsi pendekatan fenomenologis ini dengan melibatkan masyarakat dalam proses identifikasi masalah dan pencarian solusi. Melalui dialog yang otentik dan partisipatif, Lazismu membangun pemahaman yang mendalam tentang akar masalah kemiskinan dan merancang program yang responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat (Habermas, 1981).
Dialektika Teknologi dan Spiritualitas dalam Era Digital
Era digital Era digital membawa sebuah paradoks yang menarik dalam pengelolaan zakat. Di satu sisi, teknologi memungkinkan efisiensi dan transparansi yang luar biasa dalam pengumpulan dan distribusi zakat. Di sisi lain, digitalisasi berpotensi mengikis dimensi spiritual dan relasional yang menjadi esensi zakat itu sendiri (Castells, 2010).
Dalam Al-Qur’an, zakat tidak sekadar dimaknai sebagai kewajiban finansial, tetapi juga sebagai proses penyucian diri dan harta sebagaimana Allah SWT. Berfirman :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini menegaskan bahwa zakat memuat dimensi tazkiyah (penyucian) yang bersifat spiritual-transendental, selain aspek distribusi material.
Lazismu berhasil menciptakan sintesis dialektis antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai spiritual melalui platform digital yang tidak hanya memfasilitasi transaksi, tetapi juga membangun komunitas spiritual yang terhubung (Turkle, 2011). Setiap klik dan transfer digital, jika dimaknai secara mendalam, dapat menjadi “amalan yang hidup” (ʿamal ḥayy) yang menghubungkan muzakki dengan mustahik dalam ikatan persaudaraan universal (ukhuwwah insaniyyah), sebagaimana spirit Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Al-Farabi, filsuf Muslim klasik, menekankan dalam Al-Madinah Al-Fadilah bahwa kesejahteraan sejati (saʿādah) hanya dapat dicapai ketika masyarakat membangun sistem yang harmonis antara kebutuhan jasmani dan rohani, bukan sekadar mengejar materialitas. Dalam konteks ini, teknologi digital bisa dimaknai sebagai wasilah (sarana) menuju tujuan etis dan spiritual, bukan sebagai tujuan itu sendiri.
Menafsirkan Makna Kesejahteraan
Konsep Konsep kesejahteraan dalam zakat tidak dapat dipahami secara univokal, melainkan memerlukan interpretasi hermeneutis yang mendalam. Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa pemahaman selalu melibatkan peleburan horizon (fusion of horizons) antara teks dan pembaca, antara ideal dan realitas (Gadamer, 1975).
Dalam perspektif Al-Qur’an, kesejahteraan bukan sekadar terpenuhinya kebutuhan material, tetapi mencakup dimensi spiritual, sosial, dan ekologis:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia; dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini menekankan keseimbangan dinamis antara duniawi dan ukhrawi. Amartya Sen (1999) melalui Development as Freedom menyebut kesejahteraan sebagai kebebasan multidimensional manusia untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga. Konsep ini sejalan dengan maqāṣid al-syarīʿah yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, yakni menjaga agama (dīn), jiwa (nafs), akal (ʿaql), keturunan (nasl), dan harta (māl).
Lazismu dalam platform digitalnya tampak mengembangkan hermeneutika kesejahteraan yang holistik, di mana setiap program dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan material, tetapi juga spiritual, sosial, dan ekologis. Ini mencerminkan etika ekoteologis Al-Qur’an sebagaimana yang telah ditegaskan dalam FirmanNya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Dengan demikian, zakat digital tidak hanya menjadi alat distribusi keadilan sosial, tetapi juga sebagai jembatan etis-transendental untuk membangun kesadaran kosmik akan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30).
Etika Tanggung Jawab Menuju Solidaritas Universal
Emmanuel Levinas menekankan bahwa tanggung jawab terhadap yang lain adalah fondasi etika yang paling fundamental (Levinas, 1961). Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kapitalisme global, konflik geopolitik, dan perubahan iklim, etika tanggung jawab ini menjadi semakin relevan. Zakat, sebagai instrumen sosial keagamaan, mengejawantahkan etika ini secara konkret, di mana setiap individu bertanggung jawab terhadap kesejahteraan komunitas—baik lokal maupun global.
Lazismu telah mengembangkan paradigma zakat yang melampaui sekat-sekat geografis, etnis, dan ideologis. Melalui program-program lintas batas dan kerja sama internasional, Lazismu memperlihatkan bahwa zakat bukan hanya instrumen redistribusi ekonomi, tetapi juga manifestasi kesadaran kosmopolitan (Appiah, 2006). Kesadaran ini menuntut kita untuk melihat penderitaan yang lain di era globalisasi, di mana kemiskinan, kelaparan, dan migrasi paksa akibat perang atau perubahan iklim bukan lagi persoalan “jauh di sana,” tetapi bagian dari ekosistem kemanusiaan yang saling terkait.
Etika tanggung jawab zakat di era digital juga ditantang oleh perkembangan teknologi seperti blockchain dan AI, yang bisa mempermudah distribusi zakat namun juga berpotensi mengerdilkan dimensi relasionalnya. Di sinilah diperlukan kreativitas dalam memastikan bahwa teknologi tidak hanya menjadi alat teknis, tetapi juga ruang untuk membangun kembali relasi empatik antara pemberi (muzakki) dan penerima (mustahiq).
Visi Masa Depan yang Transformatif
Zakat mengandung dimensi eskatologis yang mengarahkan masyarakat pada visi masa depan yang transformatif. Ia bukan hanya solusi untuk masalah saat ini, tetapi juga investasi untuk peradaban masa depan yang lebih adil dan bermartabat (Moltmann, 1967).
Konsep Sustainable Development Goals (SDGs) resonan dengan visi eskatologis zakat, di mana pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai proses menuju keadilan intergenerasi (Sachs, 2015). Lazismu mengintegrasikan visi eskatologis ini dalam setiap program, memastikan bahwa setiap tindakan hari ini berkontribusi pada terciptanya masa depan yang lebih baik.
Zakat tidak hanya merespons ketimpangan saat ini, tetapi juga mengandung dimensi eskatologis visi masa depan yang transformatif. Ia adalah prolepsis bagi masyarakat yang adil dan bermartabat, sebuah imajinasi tentang peradaban yang lebih manusiawi (Moltmann, 1967).
Dalam konteks kontemporer, visi ini menemukan resonansinya dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang menekankan pembangunan berkelanjutan dan keadilan intergenerasi (Sachs, 2015). Namun, SDGs sering dikritik karena bersandar pada paradigma sekuler teknokratis. Zakat menghadirkan alternatif paradigma yang mengintegrasikan aspek spiritual dan etis dalam pembangunan.
Lazismu telah mulai mengintegrasikan visi eskatologis ini dalam setiap program. Misalnya, program pemberdayaan ekonomi berbasis wakaf produktif bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi juga investasi spiritual untuk generasi mendatang. Di tengah ancaman krisis iklim dan kapitalisme ekstraktif, visi eskatologis zakat mengingatkan kita bahwa pembangunan yang tidak adil terhadap bumi adalah pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.
Dari Teori menuju Transformasi Sosial
Teologi liberasi Amerika Latin memberikan inspirasi tentang pentingnya praxis dalam transformasi sosial. Gustavo Gutierrez menekankan bahwa refleksi teologis harus diikuti dengan tindakan konkret untuk mengubah struktur yang tidak adil (Gutierrez, 1973). Zakat, dalam perspektif ini, adalah praxis liberasi yang menggabungkan refleksi spiritual dengan aksi sosial yang transformatif.
Lazismu mengembangkan praxis liberasi yang tidak hanya membebaskan mustahik dari kemiskinan material, tetapi juga membebaskan muzaki dari belenggu materialisme dan individualisme. Proses ini menciptakan transformasi yang mutual dan dialektis, di mana pemberi dan penerima sama-sama mengalami pembebasan spiritual (Hooks, 1994).
Menuju Peradaban yang Berkeadilan
Dalam sintesis filosofis, zakat dapat dipahami sebagai manifestasi dari kebijaksanaan universal yang melampaui batas-batas agama dan budaya. Ia adalah prinsip keadilan distributif yang ditemukan dalam berbagai tradisi spiritual dan filosofis manusia (Rawls, 1971).
Lazismu, sebagai institusi yang mengelola zakat, memikul tanggung jawab filosofis untuk tidak hanya mendistribusikan harta, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang keadilan dan solidaritas. Melalui pendekatan yang holistik dan filosofis, Lazismu berkontribusi pada terciptanya peradaban yang berkeadilan dan bermartabat (Walzer, 1983).
Kesimpulan
Zakat mengajarkan kita tentang transendensi dalam imanensi, bahwa nilai-nilai spiritual dapat diwujudkan dalam realitas material yang konkret. Ia bukan pelarian dari dunia, melainkan penegasan bahwa dunia ini dapat ditransformasi menjadi lebih adil dan bermartabat melalui kesadaran spiritual yang otentik (Nasr, 2006).
Lazismu telah menunjukkan bahwa pengelolaan zakat yang filosofis dan holistik dapat menjadi katalisator untuk transformasi sosial yang mendalam. Namun, keberhasilan ini memerlukan komitmen kolektif dari seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan visi keadilan kosmik yang terkandung dalam zakat (Esposito, 2011).
Dengan demikian, zakat bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan jalan menuju kesadaran kosmik tentang keadilan dan solidaritas universal. Melalui zakat, kita dapat membangun peradaban yang tidak hanya sejahtera secara material, tetapi juga mulia secara spiritual dan adil secara sosial.